an ordinary journey.

an ordinary journey.

Into the Vertical, is it Possible?

Monday, November 28, 2016

Dunia semakin berkembang. Dalam dimensi waktu, perubahan tak terelakkan. Perkembangan dalam lini manapun menjadi lumrah, baik dari segi jumlah maupun kualitas. Penduduk berkembang, padat merayap di perkotaan. Sudah tentu hal ini akan mengakibatkan pertambahan kebutuhan, sebut saja yang primer. Sandang, pangan, papan. Kali ini saya akan membahas yang ketiga, papan.
Papan, kebutuhan tempat tinggal di perkotaan yang semakin hari semakin bertambah, menjadikannya padat sesak, hingga terkadang yang terpinggirkan mendapatkan yang tidak layak. Padahal, dalam forum Habitat III di Quito September lalu, bukankah terdapat penjanjian akan pentingnya "adequate shelter for all"? Apakah ini hanya akan menjadi pasal pasal normatif yang tercetak namun miskin implementasi? Memang, bukan hal mudah untuk mewujudkannya, bahkan mungkin sangat sulit. Problematika tersebut menjalar menjadi sebuah masalah multidimensional, bahkan bercabang ke segala penjuru. Menyentuh aspek aspek vital seperti ekonomi, sosial, politik, budaya, dan lainnya.

Scarcity of Land, benarkah terjadi?
Lahan. Hal terpenting untuk membangun sebuah rumah. Tanpanya, rumah tidak bisa berpijak. Namun yang menjadi permasalahan, lahan di daerah perkotaan semakin menipis. Atau bukan menipis, melainkan difungsikan untuk hal-hal komersil, yang menurut hitungan ekonomis lebih berprofit. Entahlah. Apakah scarcity of land itu benar benar ada, atau hanya faktor kebijakan yang tidak bisa membagi peruntukan lahannya dengan seimbang.
Ketika berbicara lahan untuk tempat tinggal untuk low income people, sudah dipastikan mereka kurang berdaya. Banyak mungkin kasus dimana berdiri permukiman kumuh tanpa aspek legal tanah, ya karena memang bukan tanah mereka, melainkan milik pihak swasta atau pemerintah. Lagi-lagi, ini sulit. Apalagi jika berurusan dengan swasta, akan menjadi rumit dan pada akhirnya berujung penggusuran.

In Situ Development, or Relocation?
Pada awalnya, saya sangat kurang setuju dengan adanya penggusuran dan ide relokasi ke rumah susun. Dulu menurut saya, rumah susun tidak akan pernah bisa menggantikan ruang sosial yang dibentuk oleh kampung. Karena kampung memiliki makna yang lebih dari sebuah ruang sosial, ruang ekonomi, ruang hidup; emosi, kenangan, sejarah, dan cita-cita.
Kampung Ketandan, Surabaya. sumber: dokumentasi penulis
 
Kampung Kebangsren, Surabaya. sumber: dokumentasi penulis
Dulu saya beranggapan bahwa makna tersebut tidak akan bisa tergantikan. Memang benar, ketika masih memungkinkan dipertahankan sebagai sebuah kampung, berbagai pihak harus bahu membahu untuk memperbaiki kualitasnya, mulai dari pihak pemerintah, akademisi, NGO, praktisi, dan sudah tentu partisipasi masyarakat sendiri.
contoh salah satu squatter. sumber: google
Namun muncul pertanyaan lain, bagaimana ketika itu sudah bukan lagi slum, tapi squatter? permukiman ilegal yang berdiri bukan di tanah mereka sendiri namun tanah pemerintah bahkan swasta? Dan bagaimana ketika tanah tersebut nantinya difungsikan untuk hal hal vital seperti fasilitas perkotaan? Atau bagi pihak swasta, tanah tersebut berharga sangat mahal dan akan dikembangkan menjadi real estate dengan keuntungan berjuta dolar? Tentunya masyarakat tiada daya, pihak pihak pemilik tanah pasti akan memperjuangkan hak miliknya. Dan rumah penduduk tersebut hanya tinggal puing puing yang diratakan, sama ratanya dengan kenangan didalamya.
Ketika menghadapi suatu kondisi tersebut, jawaban satu-satunya adalah into the vertical, alias relokasi ke rumah susun.

Into the vertical? Apakah bisa menjadi jawaban?
Rusunawa Sombo, Surabaya. sumber: dokumentasi penulis
Ketika satu satunya jawaban adalah rusunawa, yang menjadi tugas adalah bagaimana lingkungan rusunawa tersebut dapat menjadi sebuah jelmaan representasi kampung yang sarat makna. Hal terpenting disini adalah social space. Sebuah gap dimana apakah rusunawa dapat menyediakan social space layaknya kampung, dan dapat memberikan maka yang daya sebutkan sebelumnya, yakni  makna yang lebih dari sebuah ruang sosial, ruang ekonomi, ruang hidup; emosi, kenangan, sejarah, dan cita-cita.
Apabila berbicara tentang social space, koridor rusunawa menjadi masalah kuncinya. Dimana penduduk akan banyak melakukan kegiatan sosial di koridor, mengingat unit rusun yang kebanyakan sangat sempit, namun diisi oleh banyak orang, sehingga over capacity juga tidak terelakkan.
Mungkin agar lebih konkret, argumen saya ini akan saya lengkapi dengan case study di salah satu rusun di Surabaya, yakni Rusunawa Sombo.

bersambung dulu ya..
 

instagram

connect on linkedin

follow us on facebook

follow us on instagram

follow us on instagram