an ordinary journey.

an ordinary journey.
Showing posts with label Architecture. Show all posts
Showing posts with label Architecture. Show all posts

sisi lain.

Sunday, October 1, 2017

judulnya oleh oleh dari perjalanan ke Jakarta Agustus lalu.
Jadii, ceritanya cukup dadakan disuruh nemenin salah satu bu dosen saya buat meninjau alias survey studi banding ke rusun rusun di Jakarta untuk melengkapi data penelitian beliau. Ya saya berangkat berangkat aja, toh saya juga penasaran banget sama kondisi rusun di Jakarta itu gimana sih. Sebeda apakah sama rusun di Surabaya. Segila apakah penolakan dari masyarakat yang konon sering diberitakan di tipi tipi alias media berita. Sekalut apakah masalah rusun disana apabila disangkut pautkan dengan prahara yang, hmm cukup banyak dipolitisasi sepertinya. intinya se Waw apakah fenomena rusun disana. Jelas, saya penasaran. Jadilah saya dan bu Dewi berangkat ke Jakarta berdua.
Nah, di perjalanan tepatnya tanggal 24 Agustus pukul 8 pagi berangkatlah kami berdua ke Jakarta naik kereta dari Surabaya. Ada kejadian menarik sih ditengah2 perjalanan ini, haha. Ga usah diceritain deh, kalau diceritain ceritanya panjang banget dan greget abis. Haha. Intinya saat kereta kami menuju Jakarta dan sudah melaju sampai daerah Cepu, saya dapat kabar harus balik ke kampus karena ada suatu masalah. Harus bangetlah pokoknya (gak usah diceritain kenapa, drama korea banget ceritanya haha). Alhasil saya drop out setelah menempuh hampir setengah jalan di stasiun Semarang dan Bu Dewi melanjutkan perjalanan ke Jakarta sendirian. Saya disuruh balik ke Surabaya lagi dan menyelesaikan urusan di kampus tsb dan besok balik lagi sendirian ke Jakarta cari flight paling pagi (yowes rapopo pokok dibayari bu dewi :'). ya okelah, mau bagaimana lagi haha. Akhirnya saya drop out dari kereta argo bromo tsb di Stasiun Semarang dan langsung pergi ke loket beli tiket kereta Maharani jurusan Surabaya. Tak selang 15 menit saya sudah duduk lagi di dalam gerbong kereta, tapi bukan ke jurusan Jakarta, melainkan Surabaya! Haha yo ngene iki, remek nang ndalan tapi ra tekan ndi ndi :') Akhirnya sampai lagi di Surabaya pukul 6 sore. padahal kalau tadi tetep di kereta sama bu Dewi sudah sampai Jakarta lho jam segitu. haha yha yha yha. (dan masih berlanjut drama drama lainnya seperti ban bocor di malam hari di tengah perumahan bumi galaxi  yang gak ada tambal ban buka dengan bawaan koper segitu gedenya, huft hari itu mantaplah pokoknya, ada aja cobaannya haha, disyukuri aja wes pokoknya :')
Yaweslah, singkat cerita urusan di kampus kelar sudah alhamdulillah. Dan akhirnya saya langsung cus Juanda buat flight ke Jakarta jam 8 pagi. Luntang luntung dewean wkwk. Dan sampailah saya di Jakarta. Sesampai di Jakarta saya langsung naik grab ke rusun dan ketemu bu Dewi di sana. Rusun pertama yang kami kunjungi adalah rusun penjaringan di area Jakarta Utara.

penampang luar rusun penjaringan, Jakarta. konon ceritanya rusun ini adalah rusun tertua yang ada di Jakarta, dibangun tahun 1986 karena kompleks rumah warga di site eksisting tersebut kebakaran.
 Di dalam rusun ini terdapat 17 blok dengan jumlah unit rumah sebanyak 1694 unit. Waw
yak bincang bincang sore santai sama warga disana. Surprisingly, mereka sangat ramah lho. Jujur, ini cukup diluar dugaan saya hehe (kakean prejudice aku). Sebelas duabelas lah sama orang orang di rusun rusun Surabaya. Masyarakatnya juga cukup terbuka dengan berbagai kegiatan wawancara dan survey penelitan semacam ini.

nah, the next day.
rusun pertama yang kami singgahi adalah rusun Marunda, which is juauh banget di pucuk Jakarta Utara mau ke Bekasi. perjalanan dari penginapan kami di Jakpus aja sekitar satu jam an. yha. tapi worthed juga se, pengen tau tentang fenomena rusun marunda yang cukup kontroversial dulu sewaktu dibangun dan masyarakatnya direlokasi disana. Jelas saja, lokasi yang di pucuk dan terasing dari peradaban membuat akses kurang baik bagi masyarakat ke lokasi pekerjaannya.
 daaan gersang juga yeah. sayang banget lah ini. kurang penghijauan. padahal unit unitnya sip ukurannya. layak huni juga lah.
Rusun ini dibangun pada tahun 2007 oleh pemerintah pusat. Rusun Marunda terdiri dari 29 blok yang dibagi menjadi 4 Cluster (A, B, C, D). Jumlah unit rusun ini 2820 unit dan dihuni sekitar 12.000 jiwa. Masyarakat rusun ini berasal dari relokasi warga berbagai tempat, antaranya Kalijodo, Waduk Pluit, Bukit Duri, dan Pasar Ikan. Masyarakat disini mayoritas bekerja di sektor swasta (buruh), buruh pelabuhan, nelayan, pedagang. Khusus masyarakat yang berasal dari gusuran Kawasan Pasar Ikan, mayoritas dari mereka adalah nelayan. Dimana mereka biasa pulang seminggu sekali ke rusun karena melayar. 80% penduduk rusun ini adalah warga yang terdampak relokasi atau penggusuran dan 20% lainnya adalah masyarakat umum.
dan dari wawancara ke beberapa warga di sini sih, mereka cukupuas dengan kondisi fisik dan sosial rusun. Kondisi fisik sendiri dianggap mereka cukup layak dan kondisi nya jauh lebih baik dari kampung yang dulu mereka tempati (yang kena gusuran). Terdapat 2 kamar tidur, ruang tamu, ruang dapur dan ruang makan, serta cuci jemur. Oya, juga kamar mandi. Koridor rusun yang cukup besar juga menjadi tambahan menarik sebagai ruang sosial warga. Selain itu, terdapat kegiatan ibu ibu yang diinisiasi paguyuban rusun, semacam pelatihan rutin entah itu pelatihan menjahit, bordir, dan semacam lainnya. Memang sih, awalnya mereka sangat menolak untuk direlokasi dari kampung mereka yang berjarak cuma berapa ratus meter aja dari lokasi pekerjaan mereka. Tapi setelah satu samai dua tahun tinggal di rusun tersebut, warga baru merasakan bahwa sangat jauh lebih nyaman tinggal di rusun, dimana hunian nya jauh lebih layak, lebih sehat, legal (karena dulu hunian mereka mayoritas ilegal) dan lebih guyub juga ternyata which is also surprising me. Lebih banyak positifnya intinya sih. Kekurangannya adalah akses yang jauh dari tempat kerja dan peradaban kota, tapi salah satunya sudah ditanggulangin pemerintah dengan memberikan fasilitas trans Jakarta yang gratis untuk warga di rusun Marunda dan rusun2 lainnya di Jakarta ke area peradaban kota. Baguslah.

and the next place.
nah kelar sudah di Marunda, cus ke pucuk Jakarta Utara yang deket daerah tangerang. haha. mubeng mubeng keliling jakarta kata e bapak grab. Ke rusun Kapuk Muara.
 nah ini dia, masih suasana tujuh belasan jadi bendera dimana mana.
 salah satu wawancara kami dengan ibuk ibuk di salah satu blok. beliau adalah gusuran dari salah satu kolong jembatan di Jakarta.
 haha unik juga ni, setiap rumah kasih bendera merah putih dari jendelanya. jarang jarang ini haha.
ya beginilah kondisinya. Rusun ini terletak di Jl. SMP 122, Kel. Kapuk, Kec. Pnjaringan, Jakarta Utara. Jumlah blok rusun ini adalah 6, dengan jumlah unitnya yakni 700 unit. Masyarakat rusun ini merupakan relokasi dari berbagai tempat, antara lain warga kolong jembatan,kampung kampung gusuran, dan Pasar Ikan. Mayoritas masyarakat di sini adalah nelayan. Nelayan tersebut terbagi menjadi 3 kategori antara lain nelayan harian, nelayan 3 bulanan pulang, dan nelayan 6 bulanan pulang.

jadi intisari perjalanan ini saya melihat indikasi bahwa rusun di Jakarta bisa menjadi salah satu solusi jitu untuk menangani permasalahan housing backlog utamanya untuk MBR (masyarakat berpenghasilan rendah). Mengenai fenomena penolakan yang sering diberitakan di media, memang benar pada awalnya masyarakat menolak keras adanya relokasi. Namun seiring waktu pembiasaan dan adaptasi (sekitar 1-2 tahun) masyarakat mulai terbiasa dengan hunian vertikal ini. Terlepas tidak semua masyarakat berpikir sama seperti demikian, karena memang relatif juga dan tergantung preferensi dan konteks mereka masing masing. Juga, observasi ini masih sekedar melihat fenomena yang terlihat pada surface atau permukaannya saja, belum mendalam yang harus dengan in depth interview dan sample responden yang lebih banyak dan beragam. ya, sek cethek pol se kalo mau narik kesimpulan juga pastinya masih dangkal dan belum komprehensif.
ya, moga moga kapan kapan bisa dilanjut lagi temuannya.

nah nah nah. sudah sudah. jadii singkat cerita, saya sama bu dewi balik penginapan langsung tepar. rencana ibuk e yang mau ke mangga dua pun jadi batal, karena gempor ni kaki udahan. yaudah balik penginapan aja langsung. dan besoknya sudah pulang balik sby lagi. tapi sendiri sendiri lagi. Bu dewi naik kereta ke Semarang karena ada kondangan sepupunya, sedangkan saya balik ke Surabaya langsung naik kereta. Nah, dimanfaatin deh buat ngontak anak anak yg ada di Jakarta, dan alhasil ada yang nyantol satu bisa ketemu. Namanya indah, kakakse. Kakak pertama di kosan bhaskara yang sekarang udah kerja di Cussons si bedak bayi, yang bela belain naik kommuter dari rumah mbaknya di daerah Klender ke stasiun Senen ke tempat saya berada hanya untuk sekedar bertatap muka, huhu terharu banget aku ndah. padahal ketemunya cuma 5 menit, secara dia dateng jam 15.30 dan kereta saya berangkat jam 15.45. Ketemu cuma buat foto sama dia, huhu indah qaqa andalanque, kakakse terbaiqku :*
inilah potret kakakse andalanque. sing mbuencekno tapi ngangeni. ben, ncen aku alay mideo2 nang stasiun sampek dheke isin, terah aku ngisin ngisin i haha. suara latar e medhok pol polan, 
yowesben ncen koyok ngene enek e >,<

oleh oleh workshop "Uncovering Inner City Kampung" kemaren

Monday, September 25, 2017

maap verse konsep pertama suara termedhok of the year 😂 (re: harap maklum haha)

credit to our team:
me, icha, adi, anggun, jati, karina, adli, yona, dina, raras, nisita, pace (Architecture ITS)

credit to supervisors:
prof. John phillipe de vischer & prof thierry kandjee (Architecture UC Louvan, Belgium)
pak angger, pak rabbani, bu yayas, bu dinda, bu tanti, pak wahyu (Architecture ITS)

take place in Kampung Dolly (30 August-6 September 2017)

oleh oleh survey

Thursday, August 3, 2017

hari hari di liburan semester ini dipenuhi dengan survey penelitian dosen *,*
capek? jangan ditanya :( muter muter seharian penuh, hampir tiap hari ngetukin pintu rumah di rusun-rusun buat survey kuisionernya penelitian dosen. bawa minyak sekardus biar ibuk ibunya mau ditanyai dan meluangkan sedikit waktunya, karena tak jarang dari kita mengalami penolakan (alias ibuknya ndak mau diwawancarai dg berbagai macam alasan). yap, menyebarlah kita ke masing masing penjuru blok rusun yang buanyak e gak ketulungan wkwk. nah, ketika sudah ngobrol sama ibuk ibuknya, tak jarang dari mereka curcol alias curhat colongan sehingga satu kuisioner saja bisa menghabiskan waktu kurang lebih sejam, wkwk. padahal target yang harus terisi sekitar 200-300 an kuisioner hehe. tapi nggak papa, semua pasti ada hikmahnya, semua pertemuan dan perbincangan dengan mereka mengandung pelajaran berharga yang mungkin nggak ada di buku buku yang dijual di toko lho, hehe. dan pelajaran utamanya adalah, semakin belajar bersyukur dan nggak boleh gampangan ngeluh, karena ujian yang ada di hidup kita ini nggak ada apa apanya dibanding banyak sekali orang diluar sana yang diuji dengan lebih hebat. karena bagaimanapun, ujian itu pasti menghebatkan kan :)
nah, ada oleh oleh ni. beberapa photoshoot yang berhasil diambil kamera hengpong ane.

Rusun Dupak Bangunrejo yang didesain mirip banget kayak kampung, tapi susun.

masih di Rusun Dupak Bangunrejo, saat itu hari jumat mendekati waktu sholat jumat dan anak anak pada baru pulang dari sekolah. Abis ujan gerimis tapi sinar mataharinya tetep ada, tipe hujan yang bisa memunculkan pelangi kata orang orang. hehe, just love that ambience

lalu meluncur ke Rusun Tanah Merah, Surabaya yang mana baru dibangun tahun 2014an. itu rusun lo rek, bukan hotel wkwk. desain rusunnya bagus menurutku, dengan luas koridor yang ideal. dimana masih memungkinkan adanya social cohesion alias ngumpul ngumpul warga untuk bersosialisasi.

hari yang berbeda kami meluncur ke Rusun Romokalisari yang terletak di benowo, tepatnya di seberang pinggir teluk lamong. juauh. tapi bagus.

nah ini ibuk ibuknya yang sy wawancarai, buaik abis. pas aku udah rada lelah ngetokin pintu satu satu dari pagi sampe sore, ibuk ibuknya mempersilahkan duduk aja di tempat di balkon salah satu lantai, lalu ibuk ibuknya yang rame rame manggilin tetangganya untuk turun ke lantai saya buat di wawancarai. katanya "kasian mbaknya wes capek, duduk aja mbak tak panggilno wong wong". wkwk, alhasil saya sangat berterimakasih dan malah mereka menyuguhi pop ice dingin dan beberapa tusuk sempol goreng untuk saya nikmati. sudah sangat cukup untuk membuat saya bahagia, wkwk. makasih buk!

nah sorean dikit, coba nengok ke area playground. rame banget anak anak main di area playground dan lapangan sepak bola. well, rusun ini livable banget. sayangnya lokasinya yang juauh dari pusat kota yang jadi kelemahannya.

next day, mulailah ke Rusun Penjaringan Sari di Surabaya. yang dibangun sudah cukup lama, jadi ya maklum kondisinya nggak terlalu layak lagi.

Lalu... in the next day meluncur naik kereta ke Semarang. Buat apa? ya buat survey lagi hehe.
ya, beginilah kondisi salah satu rusun di Semarang. tapi di foto epic juga ya.

nemu dedek dedek yang suka banget difoto kwkw
tentunya, tak lupa singgah barang sebentar ke beberapa landmark Kota Semarang, yakni masjid agung jawa tengah dan lawang sewu.
teman seperjuangan survey :D

daann... satu lagi pelajaran yang saya dapatkan dari perjalanan selama ini, no matter how hard, long, tiring, and unsure this journey is, now I realize that InsyaAllah, I'm on the right path :)
clue : cuma sederhana, tridharma perguruan tinggi, wkwk, amiin.
tapi jalannya tak sesederhana itu :'))

masih belajar nulis

Saturday, June 17, 2017

Alhamdulillah, my very first ever publication has been published :)


masih amatiran, masih banyak kurangnya, masih butuh belajar yang buanyaaak, masih gak ada apa apanya. tapi semoga yang sedikit dari saya ini bisa bermanfaat :)


been busy to prepare my two next publication (actually for my college task and small research in this semester) that have titled "The Effectiveness of Rental HousingFinance for Low-Income Households in Sombo Rental Flats, Surabaya" and "Urban Housing Renewal Concept of Kampung Tambak Bayan based on Sustainable Tourism Development". and also my research thesis proposal that will be in trial in the end of june :'( bismillah hope it can be done on time (approximately at the end of june/july) and be a good writing too (please, hoping very much huhu :''(
and most importantly, a holy month Ramadhan will come soon, hopefully we can make the most of it , amiiin :')



Into the vertical, is it possible?

Friday, April 7, 2017

oleh : Annisa Nur Ramadhani
opini mahasiswa arsitektur amatiran

Dunia semakin berkembang. Dalam dimensi waktu, perubahan tak terelakkan. Perkembangan dalam lini manapun menjadi lumrah, baik dari segi jumlah maupun kualitas. Penduduk berkembang, padat merayap di perkotaan. Sudah tentu hal ini akan mengakibatkan pertambahan kebutuhan, sebut saja yang primer. Sandang, pangan, dan papan.
Membahas tentang papan, kebutuhan akan hunian di perkotaan yang semakin hari semakin bertambah, menjadikannya padat sesak, hingga terkadang yang terpinggirkan mendapatkan yang tidak layak. Padahal, dalam forum Habitat III di Quito September lalu, bukankah terdapat penjanjian akan pentingnya "adequate shelter for all"? Apakah ini hanya akan menjadi pasal pasal normatif yang tercetak namun miskin implementasi? Memang, bukan hal mudah untuk mewujudkannya, bahkan mungkin sangat sulit mengingat dinamika masalah yang terjadi pada negara berkembang seperti Indonesia. Problematika tersebut menjalar menjadi sebuah masalah multidimensional, bahkan bercabang ke segala penjuru. Menyentuh aspek aspek vital seperti ekonomi, sosial, politik, budaya, dan lainnya.

Scarcity of land. Apakah benar terjadi?
Lahan. Hal terpenting untuk membangun sebuah rumah. Tanpanya, rumah tidak akan bisa berpijak. Namun yang menjadi permasalahan adalah lahan di daerah perkotaan semakin menipis. Atau bukan menipis, melainkan disalahfungsikan untuk hal-hal komersil, yang menurut hitungan ekonomis lebih berprofit. Entahlah. Apakah scarcity of land itu benar benar ada, atau hanya faktor kebijakan yang tidak bisa membagi peruntukan lahan dari kotanya secara seimbang.
Dan ketika berbicara lahan tempat tinggal untuk masyarakat berpenghasilan rendah, hampir sudah dipastikan mereka kurang berdaya. Banyak mungkin terjadi kasus sengketa lahan permukiman kumuh tanpa hak milik tanah, karena memang lahan tersebut dimiliki pihak swasta atau pemerintah. Lagi-lagi, ini sulit. Apalagi jika berurusan dengan swasta, akan menjadi rumit dan akhirnya berujung pada penggusuran.

In Situ Development, or Relocation?
Pada awalnya, saya sangat kurang setuju dengan adanya penggusuran dan ide relokasi ke rumah susun. Karena menurut saya, rumah susun tidak akan pernah bisa menggantikan ruang sosial yang dibentuk oleh sebuah kampung. Karena kampung memiliki makna yang lebih dari sebuah ruang sosial, ruang budaya, ruang ekonomi, ruang hidup, kenangan, sejarah, dan cita-cita.
Dulu saya beranggapan bahwa makna tersebut tidak akan bisa tergantikan. Karena kampung menjadi identitas dari sebuah kota tempat budaya lahir dan tumbuh berkembang. Tempat masyarakat khususnya yang berpenghasilan rendah dapat memiliki ruang sosial dengan permaknaan yang paling maksimal. Dan ketika masih memungkinkan untuk dipertahankan sebagai sebuah kampung, berbagai pihak harus bahu membahu untuk memperjuangkan dan memperbaiki kualitasnya, mulai dari pihak pemerintah, akademisi, NGO, praktisi, dan sudah tentu partisipasi masyarakat sendiri.
Namun sekarang muncul pertanyaan lain, bagaimana ketika itu sudah bukan lagi sebuah kampung yang berpredikat slum, tapi squatter? Bagaimana apabila kampung tersebut berupa squatter atau permukiman liar dan ilegal yang berdiri bukan di tanah mereka sendiri namun tanah pemerintah ataupun tanah swasta? Dan bagaimana ketika tanah tersebut milik pemerintah yang rencananya akan difungsikan untuk hal-hal vital seperti fasilitas perkotaan nantinya? Atau bagi pihak swasta, tanah tersebut berharga sangat mahal dan akan dikembangkan menjadi kawasan real estate dengan keuntungan berjuta dolar? Tentunya masyarakat penghuni tersebut tak akan berdaya, pihak pihak pemilik tanah pasti akan memperjuangkan hak miliknya. Dan rumah penduduk tersebut hanya akan tinggal puing puing yang diratakan, sama ratanya dengan kenangan dan sejarah didalamya.
Ketika menghadapi suatu kondisi tersebut, jawaban satu-satunya adalah into the vertical, alias relokasi ke rumah susun.






 Menggali Ruang Sosial Hunian di tengah Keterbatasan
Ketika satu satunya jawaban adalah relokasi ke rumah susun, yang menjadi pertanyaan adalah bagaimana lingkungan rumah susun tersebut dapat menjadi sebuah jelmaan representasi kampung yang sarat makna. Bagaimana sebuah tipologi rumah susun dapat menjadi pengganti fungsi hunian di kampung yang mewadahi ruang sosial penghuninya? Juga sebagai ruang ekonomi, budaya dan bahkan ruang bersama untuk menggalang secercah asa perubahan. Lalu pertanyaannya, bagaimana?
Sebelum membahas permasalahan tersebut, marilah kita mengenal hakikat ruang dalam permukiman terlebih dahulu. Dalam definisinya, space atau ruang, termasuk outdoor space, adalah salah satu hasil dari arsitektur dan urban design. Space atau ruang ini dipengaruhi oleh geografi, lingkungan terbangun, sosial, budaya yang dapat mengarahkan (affordance) perilaku manusia ke dalam suatu pola tertentu [1]. Selain itu, space juga dipengaruhi oleh persepsi, pengalaman, perilaku spasial, dan makna yang dirasakan oleh user atau pengguna. Persepsi sesorang terhadap space juga dipengaruhi oleh faktor budaya. Budaya terbentuk secara kontekstual dan memiliki ke khas an masing-masing di berbagai konteks wilayah dan setting.
Ketika berbicara tentang konteks, permukiman di Indonesia memiliki dualisme tipologi, dimana terdapat horizontal housing dan vertical housing. Apabila dikerucutkan lagi untuk konteks masyarakat berpenghasilan rendah, horizontal housing mayoritas berupa kampung dan vertical housing berupa rumah susun.




Sepertinya merupakan hal lumrah apabila kita berbicara tentang  social space pada tatanan hunian kampung, dimana dalam tipologi ini social space yang dihadirkan dapat meraih kondisi optimalnya. Social space yang dapat dihadirkan di kampung juga beragam, mulai dari ruang sosial antar penghuni, ruang ekonomi, ruang budaya, ruang bermain anak, dan fungsi-fungsi lainnya. Shared outdoor space dalam konteks Kampung urban di Indonesia merupakan gang atau jalan kecil yang berada di Kampung. Juga area-area lain di sekitar permukiman yang digunakan bersama untuk kegiatan komunitas warga dan membangun sense of neighborhood [2]. Selain itu, open space diluar rumah memiliki peran yang signifikan terhadap kehidupan di kampung. Gang kampung tersebut digunakan untuk berbagai kegiatan, antara lain memasak, mencuci, bermain, mandi, dan community gathering. Dimana mengurangi luas shared outdoor space di kampung berarti mematikan kehidupan dan budaya di kampung [3].

Eksistensi Ruang Sosial dalam Rumah Susun, apakah hanya fiksi?
Ruang sosial di kampung terbukti bukan menjadi sebuah cerita fiksi belaka. Ia memang ada, nyata, dan dapat dirasa. Lalu bagaimana dengan ruang sosial di rumah susun? Karena bagaimanapun, perkembangan peradaban khususnya di perkotaan akan membawa kita pada satu budaya baru kedepannya, yakni budaya hunian vertikal, rusun salah satunya. Mau tidak mau. Namun yang menjadi fenomena adalah, masyarakat Indonesia belum terbiasa dengan budaya dan pola tipologi rumah susun. Koridor  rumah susun yang tergolong sempit dan susunan permukiman vertikal kurang dapat mewadahi kebutuhan akan ruang sosial dan budaya masyarakat. Seperti contohnya pada rusunawa Penjaringan dan rusunawa Randu di Kota Surabaya berikut. Dimana rusun tersebut memiliki koridor yang relatif sempit, yakni sekitar 1,5 – 2 meter. Lalu dengan kondisi koridor seperti ini, apakah ketercapaian pengadaan ruang sosial tersebut dapat terpenuhi? Rasanya sulit untuk menghadirkan ruang sosial yang sarat makna tersebut dengan keterbatasan ruang ini. Lalu, [fiksi]kah eksistensi ruang sosial pada rumah susun?


 
Belajar pada Rusunawa Sombo, Surabaya
Tidak perlu terburu-buru untuk mendefinisikan sesuatu. Seperti tentang pertanyaan apakah ruang sosial pada rumah susun hanyalah sekedar fiksi belaka. Karena semua pertanyaan pasti dirancang untuk menemui sebuah jawaban. Dan agar jawabannya bukanlah sebuah fiksi belaka, kini muncullah satu pertanyaan penting tentang bagaimana peran arsitek yang harus sebisa mungkin mendesain koridor rusunawa sehingga dapat mengakomodir ruang sosial penggunanya seperti di kampung.
Dalam hal ini kita bisa belajar pada rusunawa Sombo di Kota Surabaya. Rusunawa Sombo yang dibangun sejak tahun 1989 ini didesain dengan koridor lebar dengan tujuan mewadahi behaviour setting penggunanya sama seperti karakteristik gang di Kampung. Koridor yang sangat lebar 3m-9m memberikan kesan sangat longgar, dipakai sebagai ruang bersama dengan bentuknya yang dinamis. Mayarakat rusun Sombo ini merupakan masyarakat permukiman kumuh Sombo yang direlokasi ke rusun. Permukiman kumuh tersebut mempunyai tingkat kepadatan yang sangat tinggi dan sangat kumuh [4].
Dalam sejarahnya, rumah susun Sombo merupakan hasil urban renewal dan relokasi dari warga yang tinggal di kampung kumuh dengan lokasi yang sama sebelumnya. Pattern budaya masyarakat kampung mengakibatkan pola perilaku yang diharapkan terjadi di rusunawa dapat mewadahi aktifitas sosial seperti di kampung, namun tentunya terdapat perbedaan yang terpengaruh oleh setting lingkungan, dimana rusunawa yang bersifat vertical space dan kampung yang bersifat horizontal space. Untuk mengatasi hal tersebut, dilakukan pendekatan partisipatif yang hendak mempertahankan gaya hidup yang sudah biasa dianut masyarakat yaitu guyub dan bersama, diusahakan juga agar pola komunitas terjaga dengan baik. Penduduk juga diberi peluang tidak saja meyetujui pola perencanaan yang ditawarkan, tetapi ada pula kesempatan untuk menyelesaikan kekhasan di masing-masing blok, seperti perumahan di kampung. Hal ini membuat masyarakat lebih menyatu dengan rumah dalam standar yang lebih tinggi [5]



Dengan adanya pendekatan ini, dapat diidentifikasi aktifitas masyarakat yang terjadi di rusun Sombo hampir sama dengan aktifitas penduduk di kampung. Dengan desain koridor yang cukup lebar dan luas tersebut, banyak dinamika aktifitas ruang sosial yang dapat terwadahi. Dalam hal ini, koridor menjadi sebuah tempat penghubung kegiatan bersama penghuni rumah susun. Seperti contohnya kegiatan primer yang selalu dilakukan penghuni setiap hari yakni makan, mandi, mencuci, menjemur pakaian, dan memasak. Juga kebutuhan aktifitas sekunder seperti bersosialisasi, bermain, berdagang, dan lain sebagainya.

Koridor pada rusunawa Sombo juga dapat dimanfaatkan sebagai ruang bermain anak yang nyaman. Karena bagaimanapun, anak akan menghabiskan waktu terbanyaknya berada di rumah. Mulai dari belajar, bermain, sampai pembentukan karakter dasar pribadi masing-masing anak. Dan apabila sebuah hunian seperti rusun tidak ramah terhadap ruang bermain anak, tentu dapat dibayangkan betapa buruk dampaknya terhadap perkembangan anak. Karena seperti statement Lynch yakni “a good world for children is a good world for all” (Lynch,1984).
Selain itu yang menjadi menarik, banyak personalisasi yang dilakukan penghuni terhadapkoridor untuk memenuhi aktifitas sehari-harinya. Sehingga bukan hanya ruang sosial yang terbentuk, melainkan fungsi lain seperti ruang ekonomi juga dapat dilakukan di koridor rusunawa Sombo. Mulai dari aktifitas ekonomi individu penghuni, aktifitas jasa seperti menjahit, sampai koridor rusunawa dapat menjadi tempat berdagang pedagang kaki lima. Meski tak seharusnya seperti itu, namun aktifitas ekonomi tersebut terbukti mendapat respon positif dari penghuni. Dimana para penghuni dapat memiliki bisnis keluarganya sekaligus menjadi konsumen untuk produk-produk yang dijajakan tanpa harus keluar dari blok rusunawa.

 Dalam studi kasus ini, terlihat bahwa koridor rumah susun juga dapat menjadi sebuah penjelmaan dari gang kampung dengan turut serta membawa permaknaannya sebagai ruang sosial yang paling optimal bagi penghuni. Sehingga menjadi bukti, bahwa apabila rumah susun didesain dengan strategi desain yang baik serta melibatkan partisipasi masyarakatnya, ruang sosial yang dihadirkan bukan hanya sebuah fiksi dan klise belaka. Ruang sosial tersebut dapat menjelma menjadi suatu makna yang  nyata. Meskipun pada implementasinya, mendesain rumah susun secara partisipatif tentunya tidak mudah, butuh waktu dan proses yang panjang. Bahkan mungkin biaya yang juga tidak murah. Namun apabila masyarakat bisa mendapatkan apa yang mereka inginkan, bukankah proses yang panjang tersebut patut untuk diperjuangkan?

Namun bagaimanapun, tulisan ini hanya merupakan opini dan argumentasi dari seorang mahasiswa arsitektur yang masih amatir dan perlu banyak belajar. Berakar dari sebuah kondisi nyata yang ada, sedikit mencoba untuk menelisik realita.

Into the Vertical, is it Possible?

Friday, January 27, 2017

oleh : Annisa Nur Ramadhani
opini mahasiswa arsitektur amatiran

Dunia semakin berkembang. Dalam dimensi waktu, perubahan tak terelakkan. Perkembangan dalam lini manapun menjadi lumrah, baik dari segi jumlah maupun kualitas. Penduduk berkembang, padat merayap di perkotaan. Sudah tentu hal ini akan mengakibatkan pertambahan kebutuhan, sebut saja yang primer. Sandang, pangan, dan papan.
Membahas tentang papan, kebutuhan akan hunian di perkotaan yang semakin hari semakin bertambah, menjadikannya padat sesak, hingga terkadang yang terpinggirkan mendapatkan yang tidak layak. Padahal, dalam forum Habitat III di Quito September lalu, bukankah terdapat penjanjian akan pentingnya "adequate shelter for all"? Apakah ini hanya akan menjadi pasal pasal normatif yang tercetak namun miskin implementasi? Memang, bukan hal mudah untuk mewujudkannya, bahkan mungkin sangat sulit mengingat dinamika masalah yang terjadi pada negara berkembang seperti Indonesia. Problematika tersebut menjalar menjadi sebuah masalah multidimensional, bahkan bercabang ke segala penjuru. Menyentuh aspek aspek vital seperti ekonomi, sosial, politik, budaya, dan lainnya.

Scarcity of land. Apakah benar terjadi?
Lahan. Hal terpenting untuk membangun sebuah rumah. Tanpanya, rumah tidak akan bisa berpijak. Namun yang menjadi permasalahan adalah lahan di daerah perkotaan semakin menipis. Atau bukan menipis, melainkan disalahfungsikan untuk hal-hal komersil, yang menurut hitungan ekonomis lebih berprofit. Entahlah. Apakah scarcity of land itu benar benar ada, atau hanya faktor kebijakan yang tidak bisa membagi peruntukan lahan dari kotanya secara seimbang.
Dan ketika berbicara lahan tempat tinggal untuk masyarakat berpenghasilan rendah, hampir sudah dipastikan mereka kurang berdaya. Banyak mungkin terjadi kasus sengketa lahan permukiman kumuh tanpa hak milik tanah, karena memang lahan tersebut dimiliki pihak swasta atau pemerintah. Lagi-lagi, ini sulit. Apalagi jika berurusan dengan swasta, akan menjadi rumit dan akhirnya berujung pada penggusuran.

In Situ Development, or Relocation?
Pada awalnya, saya sangat kurang setuju dengan adanya penggusuran dan ide relokasi ke rumah susun. Karena menurut saya, rumah susun tidak akan pernah bisa menggantikan ruang sosial yang dibentuk oleh sebuah kampung. Karena kampung memiliki makna yang lebih dari sebuah ruang sosial, ruang budaya, ruang ekonomi, ruang hidup, kenangan, sejarah, dan cita-cita.
Dulu saya beranggapan bahwa makna tersebut tidak akan bisa tergantikan. Karena kampung menjadi identitas dari sebuah kota tempat budaya lahir dan tumbuh berkembang. Tempat masyarakat khususnya yang berpenghasilan rendah dapat memiliki ruang sosial dengan permaknaan yang paling maksimal. Dan ketika masih memungkinkan untuk dipertahankan sebagai sebuah kampung, berbagai pihak harus bahu membahu untuk memperjuangkan dan memperbaiki kualitasnya, mulai dari pihak pemerintah, akademisi, NGO, praktisi, dan sudah tentu partisipasi masyarakat sendiri.
Namun sekarang muncul pertanyaan lain, bagaimana ketika itu sudah bukan lagi sebuah kampung yang berpredikat slum, tapi squatter? Bagaimana apabila kampung tersebut berupa squatter atau permukiman liar dan ilegal yang berdiri bukan di tanah mereka sendiri namun tanah pemerintah ataupun tanah swasta? Dan bagaimana ketika tanah tersebut milik pemerintah yang rencananya akan difungsikan untuk hal-hal vital seperti fasilitas perkotaan nantinya? Atau bagi pihak swasta, tanah tersebut berharga sangat mahal dan akan dikembangkan menjadi kawasan real estate dengan keuntungan berjuta dolar? Tentunya masyarakat penghuni tersebut tak akan berdaya, pihak pihak pemilik tanah pasti akan memperjuangkan hak miliknya. Dan rumah penduduk tersebut hanya akan tinggal puing puing yang diratakan, sama ratanya dengan kenangan dan sejarah didalamya.
Ketika menghadapi suatu kondisi tersebut, jawaban satu-satunya adalah into the vertical, alias relokasi ke rumah susun.






 Menggali Ruang Sosial Hunian di tengah Keterbatasan
Ketika satu satunya jawaban adalah relokasi ke rumah susun, yang menjadi pertanyaan adalah bagaimana lingkungan rumah susun tersebut dapat menjadi sebuah jelmaan representasi kampung yang sarat makna. Bagaimana sebuah tipologi rumah susun dapat menjadi pengganti fungsi hunian di kampung yang mewadahi ruang sosial penghuninya? Juga sebagai ruang ekonomi, budaya dan bahkan ruang bersama untuk menggalang secercah asa perubahan. Lalu pertanyaannya, bagaimana?
Sebelum membahas permasalahan tersebut, marilah kita mengenal hakikat ruang dalam permukiman terlebih dahulu. Dalam definisinya, space atau ruang, termasuk outdoor space, adalah salah satu hasil dari arsitektur dan urban design. Space atau ruang ini dipengaruhi oleh geografi, lingkungan terbangun, sosial, budaya yang dapat mengarahkan (affordance) perilaku manusia ke dalam suatu pola tertentu [1]. Selain itu, space juga dipengaruhi oleh persepsi, pengalaman, perilaku spasial, dan makna yang dirasakan oleh user atau pengguna. Persepsi sesorang terhadap space juga dipengaruhi oleh faktor budaya. Budaya terbentuk secara kontekstual dan memiliki ke khas an masing-masing di berbagai konteks wilayah dan setting.
Ketika berbicara tentang konteks, permukiman di Indonesia memiliki dualisme tipologi, dimana terdapat horizontal housing dan vertical housing. Apabila dikerucutkan lagi untuk konteks masyarakat berpenghasilan rendah, horizontal housing mayoritas berupa kampung dan vertical housing berupa rumah susun.




Sepertinya merupakan hal lumrah apabila kita berbicara tentang  social space pada tatanan hunian kampung, dimana dalam tipologi ini social space yang dihadirkan dapat meraih kondisi optimalnya. Social space yang dapat dihadirkan di kampung juga beragam, mulai dari ruang sosial antar penghuni, ruang ekonomi, ruang budaya, ruang bermain anak, dan fungsi-fungsi lainnya. Shared outdoor space dalam konteks Kampung urban di Indonesia merupakan gang atau jalan kecil yang berada di Kampung. Juga area-area lain di sekitar permukiman yang digunakan bersama untuk kegiatan komunitas warga dan membangun sense of neighborhood [2]. Selain itu, open space diluar rumah memiliki peran yang signifikan terhadap kehidupan di kampung. Gang kampung tersebut digunakan untuk berbagai kegiatan, antara lain memasak, mencuci, bermain, mandi, dan community gathering. Dimana mengurangi luas shared outdoor space di kampung berarti mematikan kehidupan dan budaya di kampung [3].

Eksistensi Ruang Sosial dalam Rumah Susun, apakah hanya fiksi?
Ruang sosial di kampung terbukti bukan menjadi sebuah cerita fiksi belaka. Ia memang ada, nyata, dan dapat dirasa. Lalu bagaimana dengan ruang sosial di rumah susun? Karena bagaimanapun, perkembangan peradaban khususnya di perkotaan akan membawa kita pada satu budaya baru kedepannya, yakni budaya hunian vertikal, rusun salah satunya. Mau tidak mau. Namun yang menjadi fenomena adalah, masyarakat Indonesia belum terbiasa dengan budaya dan pola tipologi rumah susun. Koridor  rumah susun yang tergolong sempit dan susunan permukiman vertikal kurang dapat mewadahi kebutuhan akan ruang sosial dan budaya masyarakat. Seperti contohnya pada rusunawa Penjaringan dan rusunawa Randu di Kota Surabaya berikut. Dimana rusun tersebut memiliki koridor yang relatif sempit, yakni sekitar 1,5 – 2 meter. Lalu dengan kondisi koridor seperti ini, apakah ketercapaian pengadaan ruang sosial tersebut dapat terpenuhi? Rasanya sulit untuk menghadirkan ruang sosial yang sarat makna tersebut dengan keterbatasan ruang ini. Lalu, [fiksi]kah eksistensi ruang sosial pada rumah susun?


 
Belajar pada Rusunawa Sombo, Surabaya
Tidak perlu terburu-buru untuk mendefinisikan sesuatu. Seperti tentang pertanyaan apakah ruang sosial pada rumah susun hanyalah sekedar fiksi belaka. Karena semua pertanyaan pasti dirancang untuk menemui sebuah jawaban. Dan agar jawabannya bukanlah sebuah fiksi belaka, kini muncullah satu pertanyaan penting tentang bagaimana peran arsitek yang harus sebisa mungkin mendesain koridor rusunawa sehingga dapat mengakomodir ruang sosial penggunanya seperti di kampung.
Dalam hal ini kita bisa belajar pada rusunawa Sombo di Kota Surabaya. Rusunawa Sombo yang dibangun sejak tahun 1989 ini didesain dengan koridor lebar dengan tujuan mewadahi behaviour setting penggunanya sama seperti karakteristik gang di Kampung. Koridor yang sangat lebar 3m-9m memberikan kesan sangat longgar, dipakai sebagai ruang bersama dengan bentuknya yang dinamis. Mayarakat rusun Sombo ini merupakan masyarakat permukiman kumuh Sombo yang direlokasi ke rusun. Permukiman kumuh tersebut mempunyai tingkat kepadatan yang sangat tinggi dan sangat kumuh [4].
Dalam sejarahnya, rumah susun Sombo merupakan hasil urban renewal dan relokasi dari warga yang tinggal di kampung kumuh dengan lokasi yang sama sebelumnya. Pattern budaya masyarakat kampung mengakibatkan pola perilaku yang diharapkan terjadi di rusunawa dapat mewadahi aktifitas sosial seperti di kampung, namun tentunya terdapat perbedaan yang terpengaruh oleh setting lingkungan, dimana rusunawa yang bersifat vertical space dan kampung yang bersifat horizontal space. Untuk mengatasi hal tersebut, dilakukan pendekatan partisipatif yang hendak mempertahankan gaya hidup yang sudah biasa dianut masyarakat yaitu guyub dan bersama, diusahakan juga agar pola komunitas terjaga dengan baik. Penduduk juga diberi peluang tidak saja meyetujui pola perencanaan yang ditawarkan, tetapi ada pula kesempatan untuk menyelesaikan kekhasan di masing-masing blok, seperti perumahan di kampung. Hal ini membuat masyarakat lebih menyatu dengan rumah dalam standar yang lebih tinggi [5]



Dengan adanya pendekatan ini, dapat diidentifikasi aktifitas masyarakat yang terjadi di rusun Sombo hampir sama dengan aktifitas penduduk di kampung. Dengan desain koridor yang cukup lebar dan luas tersebut, banyak dinamika aktifitas ruang sosial yang dapat terwadahi. Dalam hal ini, koridor menjadi sebuah tempat penghubung kegiatan bersama penghuni rumah susun. Seperti contohnya kegiatan primer yang selalu dilakukan penghuni setiap hari yakni makan, mandi, mencuci, menjemur pakaian, dan memasak. Juga kebutuhan aktifitas sekunder seperti bersosialisasi, bermain, berdagang, dan lain sebagainya.
Koridor pada rusunawa Sombo juga dapat dimanfaatkan sebagai ruang bermain anak yang nyaman. Karena bagaimanapun, anak akan menghabiskan waktu terbanyaknya berada di rumah. Mulai dari belajar, bermain, sampai pembentukan karakter dasar pribadi masing-masing anak. Dan apabila sebuah hunian seperti rusun tidak ramah terhadap ruang bermain anak, tentu dapat dibayangkan betapa buruk dampaknya terhadap perkembangan anak. Karena seperti statement Lynch yakni “a good world for children is a good world for all” (Lynch,1984).
Selain itu yang menjadi menarik, banyak personalisasi yang dilakukan penghuni terhadapkoridor untuk memenuhi aktifitas sehari-harinya. Sehingga bukan hanya ruang sosial yang terbentuk, melainkan fungsi lain seperti ruang ekonomi juga dapat dilakukan di koridor rusunawa Sombo. Mulai dari aktifitas ekonomi individu penghuni, aktifitas jasa seperti menjahit, sampai koridor rusunawa dapat menjadi tempat berdagang pedagang kaki lima. Meski tak seharusnya seperti itu, namun aktifitas ekonomi tersebut terbukti mendapat respon positif dari penghuni. Dimana para penghuni dapat memiliki bisnis keluarganya sekaligus menjadi konsumen untuk produk-produk yang dijajakan tanpa harus keluar dari blok rusunawa.

 Dalam studi kasus ini, terlihat bahwa koridor rumah susun juga dapat menjadi sebuah penjelmaan dari gang kampung dengan turut serta membawa permaknaannya sebagai ruang sosial yang paling optimal bagi penghuni. Sehingga menjadi bukti, bahwa apabila rumah susun didesain dengan strategi desain yang baik serta melibatkan partisipasi masyarakatnya, ruang sosial yang dihadirkan bukan hanya sebuah fiksi dan klise belaka. Ruang sosial tersebut dapat menjelma menjadi suatu makna yang  nyata. Meskipun pada implementasinya, mendesain rumah susun secara partisipatif tentunya tidak mudah, butuh waktu dan proses yang panjang. Bahkan mungkin biaya yang juga tidak murah. Namun apabila masyarakat bisa mendapatkan apa yang mereka inginkan, bukankah proses yang panjang tersebut patut untuk diperjuangkan?

Namun bagaimanapun, tulisan ini hanya merupakan opini dan argumentasi dari seorang mahasiswa arsitektur yang masih amatir dan perlu banyak belajar. Berakar dari sebuah kondisi nyata yang ada, sedikit mencoba untuk menelisik realita.
 

instagram

connect on linkedin

follow us on facebook

follow us on instagram

follow us on instagram