an ordinary journey.

an ordinary journey.

mungkin belum semi.

Saturday, December 24, 2016


bukan. barangkali bukan.
karena bukan musim semi, ternyata.
atau...sepertinya.
entahlah. mengapa rasanya sekarang aku jadi tidak berani.
bahkan untuk sekedar menerka apa maunya waktu.
karena aku ingin tahu diksi apa yang paling tepat untuk protes terhadap waktu?
yang dengan angkuh mengalir, menghanyutkan jiwa yang kini mulai merindu.

ya, waktu memang sudah terlanjur mengalir.
tapi alirannya menghidupi, membawa beribu jawab dan harap.
dan waktu, menjadi begitu istimewa karena keangkuhannya itu.
namun apalah aku, yang kini rasanya mulai takut untuk berharapada waktu.
barangkali sudah berkali kali aku terjatuh dan kecewa oleh waktu-waktu yang lalu.
tapi Allah memelukku, dan memberiku jauh yang lebih indah dari harapanku.
Karena Allah memang sebaik baik penolongku.

tapi maafkanku, yang terkadang masih saja takut.
takut meletakkan kembali harapan dan mimpiku pada waktu.
dan masih takut akan waktu yang gagal membawa harapanku.
karena waktu, memang terasa begitu cepat untuk mereka yang takut,
dan begitu lama untuk mereka yang menunggu.

dan aku?
entahlah. terkadang aku suka bingung. kenapa aku mendadak jadi tidak berani, sungguh.
padahal dulu aku tidak begitu.
sangat ingin kutaklukkan derasnya aliran keangkuhan waktu dengan harapan dan mimpiku.
namun banyak hal yang terjadi dan seolah berbisik memberitahuku.
apalah aku, manusia biasa yang tak akan berdaya menerjang keangkuhan waktu.
manusia biasa yang terkadang tak tahu diri meminta pada Tuhanku ini dan itu.
manusia biasa yang terkadang luput untuk selalu menumbuhkan rasa syukur di hatiku.
padahal Tuhan begitu menyayangiku. karuniaNya begitu besar untukku :')
duhai hatiku, kenapa engkau masih mempertanyakan itu?

sekali lagi maafkan aku.
karena terkadang masih ada rasa takut itu. terkadang mendadak aku jadi pengecut.
sebenarnya aku hanya takut memberi waktu ruang untuk sekali lagi mengecewakanku.
bahkan, tanpa sepengetahuan sang waktu.
tapi akupun tahu, tak seharusnya aku begitu.

sudahlah, tenanglah hatiku.
tetaplah bermimpi. tetaplah berharap dan percaya, wahai diriku.
karena jangan kau kerdilkan kuasa Tuhan dengan impian-impian kerdilmu.
karena Tuhan Maha Hebat, kamupun tahu itu.
percayalah, terbangkan mimpimu sejauh apapun itu.
berusahalah, sampai diujung pilu dan peluhmu.
berdoalah, sampai untaian doa terjabah di penghujung harapmu.
bersabarlah, karena ini semua hanya tipu daya waktu.
terus berjuanglah, karena ini belum waktunya semi, kataku.

karena suatu saat nanti kamu akan tahu,
di tengah lelahnya perjuanganmu, betapa indahnya rencana Allah untuk menghadirkan musim semi yang kau tunggu itu.
dari diri yang sedang menguatkan kembali hati dan mimpi yang tengah dilanda sendu.
(وكان فضل الله عليك عظيما)
“Dan karunia Allah yang dilimpahkan kepadamu itu sangat besar”.
(An Nisa’: 113)

(ولسوف يعطيك ربك فترضى)
“Dan sungguh, kelak Tuhanmu pasti memberikan karunia-Nya kepadamu, sehingga engkau menjadi puas”.
(Adh Dhuha: 5)

(وَاصْبِرْ لِحُكْمِ رَبِّكَ فَإِنَّكَ بِأَعْيُنِنَا )
 “Dan bersabarlah menunggu ketetapan Tuhanmu, karena sesungguhnya engkau berada dalam pengawasan Kami…”
(Ath Thur: 48)

inspiring lecturer!

Wednesday, December 21, 2016

the most inspiring lecturer ever!
terimakasih ilmu, buku-buku dan semangatnya yang selalu menginspirasi Prof Silas :)
terimakasih buat bukunya yang luar biasa, semoga ilmu yang kami dapatkan kelak akan berguna dan bermanfaat, amiiin

"Never in the history of mankind have so many done so much with so few"

prof. Johan Silas

Kira-kira salah satu quote terbaik dari prof Silas yang beliau sampaikan di sela-sela kuliah lalu. Sebuah analogi dimana di dalam belenggu keterbatasan, pembangunan kampung masih bisa dilakukan dengan sepenuhnya, asalkan didukung oleh kesadaran dan partisipasi masyarakatnya. Sungguh beruntung saya dapat mendapatkan transfer ilmu langsung dari salah satu legenda pemrakarsa pengembangan permukiman swadaya di Indonesia ini (see this). Beliau adalah salah satu orang yang menginspirasi saya untuk menekuni satu bidang riset yang saat ini saya geluti, yakni perumahan permukiman. Tentunya pada ranah swadaya atau sektor informal yang biasa berkecimpung dengan permasalahan kompleks meliputi sosial, ekonomi, lingkungan, budaya, bahkan kemiskinan pada lingkungan binaan, baik itu kampung maupun rusunawa. Prof Silas menginspirasi saya dengan segala sepak terjangnya di bidang riset dan praktis, dan motivasinya yang luar biasa untuk mendidik tunas-tunas baru. Yang membuat menarik adalah ketika riset beliau dapat diterapkan langsung pada pengembangan kampung di Surabaya, dengan projectnya yang terkenal yakni Kampung Improvement Program. Beliau juga berhasil mendapatkan Habitat Scroll of Honour dari PBB untuk pengabdiannya selama bertahun-tahun untuk membangun permukiman dan mengentaskan kemiskinan di Surabaya.


lestari/les·ta·ri/ a tetap seperti keadaannya semula; tidak berubah; bertahan; kekal;

Lestari. Begitulah beliau seringkali menyebut suatu konsep kampung yang hakiki. Karena pada dasarnya, sebuah sustainable development adalah membuat lingkungan binaan kembali kepada harfiah awalnya, yakni alam. Harus selalu ditanamkan bahwa alam ini bukanlah warisan dari nenek moyang kita, namun merupakan pinjaman yang harus selalu kita jaga kelestariannya sehingga sampai pada anak cucu kita, bahkan generasi mendatang yang lebih jauh lagi. Karena ketika berbicara tentang perbaikan kampung, bukan melulu masalah fisik yang kita bicarakan. Multi dimensional, komprehensif, mungkin lebih tepatnya. Karena permasalahan pembangunan akan meliputi dalam bidang ekonomi, sosial, politik, lingkungan, bahkan dalam dimensi variabel budaya.

Bukan hal mudah, pastinya.
Tapi bukan berarti tidak bisa.
Karena pada keterbatasan, dalam ketidakmampuan, dan belenggu keputus asaan,
akan selalu ada harapan untuk sebuah perubahan.

Dan mungkin itu yang bisa kita lihat pada beberapa contoh kampung yang kurang lebih telah berproses dan menggapai kondisi idealnya,

Kampung Herbal Candirejo, Genteng, Surabaya
 
Kampung Candirejo Genteng, Surabaya. sumber: dokumentasi penulis

Kampung Candirejo Genteng, Surabaya. sumber: dokumentasi penulis

Kampung Candirejo Genteng, Surabaya. sumber: dokumentasi penulis

Kampung Candirejo Genteng, Surabaya. sumber: dokumentasi penulis

Kampung Candirejo Genteng, Surabaya. sumber: dokumentasi penulis

Kampung Candirejo Genteng, Surabaya. sumber: dokumentasi penulis

if we couldn't change the entire world,

just simply help to change a person life into a better one.

don't forget, it means the world to him


Kampung Ketandan, Tunjungan, Surabaya
Kampung Ketandan, Surabaya. sumber: dokumentasi penulis

Kampung Ketandan, Surabaya. sumber: dokumentasi penulis

Kampung Ketandan, Surabaya. sumber: dokumentasi penulis

 
Kampung Ketandan, Surabaya. sumber: dokumentasi penulis

 

Kampung Ketandan, Surabaya. sumber: dokumentasi penulis

There is pleasure in the pathless woods,

there is rapture in the lonely shore,
there is society where none intrudes,
but by the people, they'll do the imposible

[ ]

Monday, December 19, 2016

            
but I'm fine, I have Allah :)

And whoever fears Allah, he will make for him a way out. And will provide for him from where he doesn't expect. And whoever relies upon Allah, then he is sufficient for him. Indeed, Allah will accomplish His purpose. Allah has already set for everything (decreed) extent :')
(QS 65:2-3)

susur kampung kemaren sore

Thursday, December 8, 2016

ceritanya dadakan dimintai tolong dosen saya, Bu Arina sama Prof Happy buat nemenin Gabrielle, dosen dan peneliti antropologi dari Vienna, Austria buat susur kampung di Surabaya. Ada 10 kampung yang "diblusuki". Jadi ceritanya Maret taun depan ada sekitar 20 mahasiswanya Gabrielle yang mau field trip ke Indonesia. Field tripnya ngapain? Uniknya field trip mereka nginep di kampung-kampung bareng warga setempat. Trus bikin penelitian kecil tentang Urban Kampung's Life in Developing Country dari kacamata antropologi. hmm cukup menarique
Nah Gabrielle cerita kalau Indonesia itu menarik banget dalam segi fenomena sosial dan antropologinya. Wajar lah, Austria dan negara-negara eropa sekitarnya sudah high developed, sehingga fenomena sosial yang terjadi cenderung stagnan dan sudah memasuki kondisi idealnya. Tapi kalo Indonesia? Jangan tanya. Apalagi kehidupan di kampung, temporal change nya luar biasa. Karakteristik masyarakatnya beragam. Yang juga menarik banyak kampung di Surabaya yang lingkungannya bagus dan tertata rapi melalui partisipasi warganya, kesadaran warganya. Keramahan kehidupan kampung, dan banyak hal lain yang menarik dari segi behaviour study nya.
Coba saja, memang di negara eropa ada pedagang kaki lima? ada kerja bakti RT? ada senam pagi ibu-ibu PKK? ada gotong royong membangun selokan di kampung? ada jemuran yang dijemur di depan rumah? hahahaaha nggak ada kata Gabrielle, cuma di Indonesia, atau mungkin lebih luasnya, di negara berkembang buat bisa neliti fenomena itu.
Keren ya Indonesia. Seru lah pokoknya.
Yaudah sih gitu aja, hehe.




Menggali Ruang Anak Ditengah Keterbatasan

Sunday, December 4, 2016

a good world for children is a good world for all (Lynch,1984)

Ada yang datang ada yang pergi, ada yang hilang dan berganti, namun barangkali, masa kanak kanak adalah salah satu yang sayang untuk dilewati. Masa emas yang dipenuhi dengan kepolosan, keluguan, dan rasa keingin tahuan besar yang tidak dapat ditemukan di masa selanjutnya. Masa ini dipenuhi dengan permainan, eksplorasi, dan kebutuhan kognisi yang mereka dapatkan dari lingkungan tempat tinggalnya. Namun apakah sebuah kondisi ideal ini akan bisa terpenuhi ketika terhalang keterbatasan? atau justru keterbatasan itulah yang membuat mereka menemukan makna yang hakiki dari sebuah bentuk kebahagian di masa kanak kanak?

Semua itu relatif, tentu. Tidak ada hal absolut di dunia ini, kecuali kekuasaan Tuhan. Dalam sowan saya ke beberapa kampung dan rusunawa di Surabaya beberapa bulan ini dalam rangka survey penelitian tugas S2 saya, saya menemukan hal hal menarik seputar kehidupan anak-anak di lingkungannya. Karena di tengah keterbatasan, mereka justru leluasa dan bebas mengekspresikan dirinya, memanfaatkan sisa masa kanak-kanaknya yang tak akan lagi terulang.

Hal ini barangkali sangat bersebrangan dengan fakta dimana anak-anak kaum menengah ke atas, dimana intervensi gadget, komputer, dan lingkungan yang dibatasi oleh orangtuanya membuat mereka menjadi sosok anak "millenium" yang (lagi-lagi) barangkali, menggerus budaya dan makna keceriaan anak-anak yang seharusnya mereka rasakan.
Namun bagaimanapun, budaya berubah seiring berkembangnya zaman. Mungkin kita tidak bisa terlalu menyalahkan gadget dan overproteksi orangtua pada anak-anak mereka, karena pada era ini, kriminalitas pada anak meningkat, pun keselamatan anak-anak yang dirasa kurang apabila dibiarkan bermain bebas. Ya, karena orangtuapun memiliki naluri melindungi anaknya, buah hati kesayangan mereka.
Kembali ke konteks judul. Keterbatasan, sebenarnya apa maknanya? Lagi-lagi relatif. Bahkan setahu saya, banyak orang yang mungkin hidup di bawah garis kemiskinan tidak merasa hidupnya terbatas, bahkan mereka sangat bersyukur dengan keadaan. Namun tidak semua merasa seperti itu, pastinya. Bahkan banyak yang sudah berkecukupan, masih merasa hidupnya terbatas, entahlah. Mungkin mereka terhimpit persepsi dan ilusi pengharapan mereka yang muluk-muluk di dunia. naudzubillahimindzalik, semoga kita selalu menjadi orang yang merawat rasa syukur..

"ada satu mbak yang saya rasa hilang, dulu di pinggir pantai samping rumah saya itu, ada gundukan pasir yang dibuat lapangan. Nah, anak-anak itu bisa bermain disana, bola, gobak sodor, petak umpet, sama permainan lain. Kalau sekarang kasihan, mereka nggak ada tempat. Ya paling main di gang-gang. Padahal kita nelayan, harusnya ya mainnya di deket pantai."

Satu potongan percakapan wawancara saya dengan seorang nelayan di daerah Kedung Cowek, Surabaya suatu sore. Dulu berbeda dengan sekarang. Selalu itu, kasihan anak-anak. Terbatas ruang geraknya. Tapi entah mengapa, dalam keterbatasan itu mereka selalu menemukan jalan eksplorasinya, asalkan satu syarat, bebas. Kebebasan yang masih dalam pengawasan. Hal ini lagi-lagi kontekstual. Seperti di kampung, dimana tingkat kekerabatan dengan tetangganya tinggi, membuat hampir sekampung mengenal satu sama lain. Hal ini membuat anak-anak dapat diawasi oleh semua warga sekampung, meminimalisir adanya kriminalitas dan kecelakaan anak. Atau yang biasa disebut "defensible space" di arsitektur, cabang ilmu yang saya tekuni saat ini.





Kampung Kedung Cowek, Surabaya. sumber: dokumentasi penulis
Salah satu anak terlucu dan terimut yang saya temui di kampung nelayan kedung cowek. Dia bersama temannya bermain pasir di pinggir pantai, namun karena pantai sekarang sudah mengalami abrasi dan debit air yang tinggi, dibangunlah dinding barier di sekelilingnya. Tapi lihat, keceriaannya membuat semua orang yang melihatnya ikut merasa bahagia :) 
Kampung Kedung Cowek, Surabaya. sumber: dokumentasi penulis
Dek sini sini mbak foto dek..dan diapun tersenyum lebar ala pepsodent haha
Kampung Kedung Cowek, Surabaya. sumber: dokumentasi penulis
Adeknya lho lucu, bedakan putih tebel banget sembunyi di balik kakaknya yang lagi makan es krim
Kampung Kedung Cowek, Surabaya. sumber: dokumentasi penulis
Hahaha, ini saya yang rada jahil. Adeknya nggak mau difoto, terus merunduk malu gitu sambil ketawa ketawa. Maapin ya dek..

Berbeda kasus, saat percakapan saya dengan ibuk-ibuk di rusunawa Sombo suatu siang,
"buk, enakan di rumah susun ini apa di kampung dulu buk?" tanyaku,
"ya enak di sini mbak, anak-anak bisa main bebas. Dulu di kampung kumuh mbak, becek jalannya, kotor, sempit banget lagi. Desainnya bagus soalnya koridornya luas mbak, nggak kayak rusun lainnya. Kalo koridornya luas gini kan enak, anak-anak bisa main di sini, di depan rumah sama tetangga-tetangga. Bebas playon ngalor ngidul mbak."

Lagi lagi, syukur itu relatif.
Ya, syukur itu relatif, rusun yang mungkin sebagian orang merasa padat ini memberikan kenyamanan bagi ibu-ibu penghuninya. pun anak-anak.


Rusunawa Sombo, Surabaya. sumber: dokumentasi penulis

Rusunawa Sombo, Surabaya. sumber: dokumentasi penulis
Kenampakan Rusunawa Sombo, Surabaya dari luar

Rusunawa Sombo, Surabaya. sumber: dokumentasi penulis
Anak anak bermain "gepuk-gepukan" bantal sepulang sekolah

Rusunawa Sombo, Surabaya. sumber: dokumentasi penulis
Ibu-ibu ngerumpi, anak-anak ikutan juga ngerumpi


Rusunawa Sombo, Surabaya. sumber: dokumentasi penulis
Pengawasan orang tua, tetangga tetap dapat berjalan karena lingkungan hunian dapat mewadahi social behaviour penggunanya.

"Karena terkadang, aku ingin menjadi seorang anak-anak kembali. Bukan secara hakiki, maksudku tentang cara pandang mereka terhadap kebahagiaan. Atau barangkali, aku ingin agar sebagian diriku masih terisi dengan jiwa kanak-kanak. Dimana anak-anak, dengan sederhananya memandang dunia, kebahagiaan, pun kesedihan. Mereka terlampau gampang untuk bahagia, sedih, menangis, dan kembali lagi tertawa. Kesederhanaan yang menjadi pesona dan tak ternilai harganya."
 

instagram

connect on linkedin

follow us on facebook

follow us on instagram

follow us on instagram