an ordinary journey.

an ordinary journey.

Menggali Ruang Anak Ditengah Keterbatasan

Sunday, December 4, 2016

a good world for children is a good world for all (Lynch,1984)

Ada yang datang ada yang pergi, ada yang hilang dan berganti, namun barangkali, masa kanak kanak adalah salah satu yang sayang untuk dilewati. Masa emas yang dipenuhi dengan kepolosan, keluguan, dan rasa keingin tahuan besar yang tidak dapat ditemukan di masa selanjutnya. Masa ini dipenuhi dengan permainan, eksplorasi, dan kebutuhan kognisi yang mereka dapatkan dari lingkungan tempat tinggalnya. Namun apakah sebuah kondisi ideal ini akan bisa terpenuhi ketika terhalang keterbatasan? atau justru keterbatasan itulah yang membuat mereka menemukan makna yang hakiki dari sebuah bentuk kebahagian di masa kanak kanak?

Semua itu relatif, tentu. Tidak ada hal absolut di dunia ini, kecuali kekuasaan Tuhan. Dalam sowan saya ke beberapa kampung dan rusunawa di Surabaya beberapa bulan ini dalam rangka survey penelitian tugas S2 saya, saya menemukan hal hal menarik seputar kehidupan anak-anak di lingkungannya. Karena di tengah keterbatasan, mereka justru leluasa dan bebas mengekspresikan dirinya, memanfaatkan sisa masa kanak-kanaknya yang tak akan lagi terulang.

Hal ini barangkali sangat bersebrangan dengan fakta dimana anak-anak kaum menengah ke atas, dimana intervensi gadget, komputer, dan lingkungan yang dibatasi oleh orangtuanya membuat mereka menjadi sosok anak "millenium" yang (lagi-lagi) barangkali, menggerus budaya dan makna keceriaan anak-anak yang seharusnya mereka rasakan.
Namun bagaimanapun, budaya berubah seiring berkembangnya zaman. Mungkin kita tidak bisa terlalu menyalahkan gadget dan overproteksi orangtua pada anak-anak mereka, karena pada era ini, kriminalitas pada anak meningkat, pun keselamatan anak-anak yang dirasa kurang apabila dibiarkan bermain bebas. Ya, karena orangtuapun memiliki naluri melindungi anaknya, buah hati kesayangan mereka.
Kembali ke konteks judul. Keterbatasan, sebenarnya apa maknanya? Lagi-lagi relatif. Bahkan setahu saya, banyak orang yang mungkin hidup di bawah garis kemiskinan tidak merasa hidupnya terbatas, bahkan mereka sangat bersyukur dengan keadaan. Namun tidak semua merasa seperti itu, pastinya. Bahkan banyak yang sudah berkecukupan, masih merasa hidupnya terbatas, entahlah. Mungkin mereka terhimpit persepsi dan ilusi pengharapan mereka yang muluk-muluk di dunia. naudzubillahimindzalik, semoga kita selalu menjadi orang yang merawat rasa syukur..

"ada satu mbak yang saya rasa hilang, dulu di pinggir pantai samping rumah saya itu, ada gundukan pasir yang dibuat lapangan. Nah, anak-anak itu bisa bermain disana, bola, gobak sodor, petak umpet, sama permainan lain. Kalau sekarang kasihan, mereka nggak ada tempat. Ya paling main di gang-gang. Padahal kita nelayan, harusnya ya mainnya di deket pantai."

Satu potongan percakapan wawancara saya dengan seorang nelayan di daerah Kedung Cowek, Surabaya suatu sore. Dulu berbeda dengan sekarang. Selalu itu, kasihan anak-anak. Terbatas ruang geraknya. Tapi entah mengapa, dalam keterbatasan itu mereka selalu menemukan jalan eksplorasinya, asalkan satu syarat, bebas. Kebebasan yang masih dalam pengawasan. Hal ini lagi-lagi kontekstual. Seperti di kampung, dimana tingkat kekerabatan dengan tetangganya tinggi, membuat hampir sekampung mengenal satu sama lain. Hal ini membuat anak-anak dapat diawasi oleh semua warga sekampung, meminimalisir adanya kriminalitas dan kecelakaan anak. Atau yang biasa disebut "defensible space" di arsitektur, cabang ilmu yang saya tekuni saat ini.





Kampung Kedung Cowek, Surabaya. sumber: dokumentasi penulis
Salah satu anak terlucu dan terimut yang saya temui di kampung nelayan kedung cowek. Dia bersama temannya bermain pasir di pinggir pantai, namun karena pantai sekarang sudah mengalami abrasi dan debit air yang tinggi, dibangunlah dinding barier di sekelilingnya. Tapi lihat, keceriaannya membuat semua orang yang melihatnya ikut merasa bahagia :) 
Kampung Kedung Cowek, Surabaya. sumber: dokumentasi penulis
Dek sini sini mbak foto dek..dan diapun tersenyum lebar ala pepsodent haha
Kampung Kedung Cowek, Surabaya. sumber: dokumentasi penulis
Adeknya lho lucu, bedakan putih tebel banget sembunyi di balik kakaknya yang lagi makan es krim
Kampung Kedung Cowek, Surabaya. sumber: dokumentasi penulis
Hahaha, ini saya yang rada jahil. Adeknya nggak mau difoto, terus merunduk malu gitu sambil ketawa ketawa. Maapin ya dek..

Berbeda kasus, saat percakapan saya dengan ibuk-ibuk di rusunawa Sombo suatu siang,
"buk, enakan di rumah susun ini apa di kampung dulu buk?" tanyaku,
"ya enak di sini mbak, anak-anak bisa main bebas. Dulu di kampung kumuh mbak, becek jalannya, kotor, sempit banget lagi. Desainnya bagus soalnya koridornya luas mbak, nggak kayak rusun lainnya. Kalo koridornya luas gini kan enak, anak-anak bisa main di sini, di depan rumah sama tetangga-tetangga. Bebas playon ngalor ngidul mbak."

Lagi lagi, syukur itu relatif.
Ya, syukur itu relatif, rusun yang mungkin sebagian orang merasa padat ini memberikan kenyamanan bagi ibu-ibu penghuninya. pun anak-anak.


Rusunawa Sombo, Surabaya. sumber: dokumentasi penulis

Rusunawa Sombo, Surabaya. sumber: dokumentasi penulis
Kenampakan Rusunawa Sombo, Surabaya dari luar

Rusunawa Sombo, Surabaya. sumber: dokumentasi penulis
Anak anak bermain "gepuk-gepukan" bantal sepulang sekolah

Rusunawa Sombo, Surabaya. sumber: dokumentasi penulis
Ibu-ibu ngerumpi, anak-anak ikutan juga ngerumpi


Rusunawa Sombo, Surabaya. sumber: dokumentasi penulis
Pengawasan orang tua, tetangga tetap dapat berjalan karena lingkungan hunian dapat mewadahi social behaviour penggunanya.

"Karena terkadang, aku ingin menjadi seorang anak-anak kembali. Bukan secara hakiki, maksudku tentang cara pandang mereka terhadap kebahagiaan. Atau barangkali, aku ingin agar sebagian diriku masih terisi dengan jiwa kanak-kanak. Dimana anak-anak, dengan sederhananya memandang dunia, kebahagiaan, pun kesedihan. Mereka terlampau gampang untuk bahagia, sedih, menangis, dan kembali lagi tertawa. Kesederhanaan yang menjadi pesona dan tak ternilai harganya."

No comments:

Post a Comment

 

instagram

connect on linkedin

follow us on facebook

follow us on instagram

follow us on instagram