an ordinary journey.

an ordinary journey.

Into the vertical, is it possible?

Friday, April 7, 2017

oleh : Annisa Nur Ramadhani
opini mahasiswa arsitektur amatiran

Dunia semakin berkembang. Dalam dimensi waktu, perubahan tak terelakkan. Perkembangan dalam lini manapun menjadi lumrah, baik dari segi jumlah maupun kualitas. Penduduk berkembang, padat merayap di perkotaan. Sudah tentu hal ini akan mengakibatkan pertambahan kebutuhan, sebut saja yang primer. Sandang, pangan, dan papan.
Membahas tentang papan, kebutuhan akan hunian di perkotaan yang semakin hari semakin bertambah, menjadikannya padat sesak, hingga terkadang yang terpinggirkan mendapatkan yang tidak layak. Padahal, dalam forum Habitat III di Quito September lalu, bukankah terdapat penjanjian akan pentingnya "adequate shelter for all"? Apakah ini hanya akan menjadi pasal pasal normatif yang tercetak namun miskin implementasi? Memang, bukan hal mudah untuk mewujudkannya, bahkan mungkin sangat sulit mengingat dinamika masalah yang terjadi pada negara berkembang seperti Indonesia. Problematika tersebut menjalar menjadi sebuah masalah multidimensional, bahkan bercabang ke segala penjuru. Menyentuh aspek aspek vital seperti ekonomi, sosial, politik, budaya, dan lainnya.

Scarcity of land. Apakah benar terjadi?
Lahan. Hal terpenting untuk membangun sebuah rumah. Tanpanya, rumah tidak akan bisa berpijak. Namun yang menjadi permasalahan adalah lahan di daerah perkotaan semakin menipis. Atau bukan menipis, melainkan disalahfungsikan untuk hal-hal komersil, yang menurut hitungan ekonomis lebih berprofit. Entahlah. Apakah scarcity of land itu benar benar ada, atau hanya faktor kebijakan yang tidak bisa membagi peruntukan lahan dari kotanya secara seimbang.
Dan ketika berbicara lahan tempat tinggal untuk masyarakat berpenghasilan rendah, hampir sudah dipastikan mereka kurang berdaya. Banyak mungkin terjadi kasus sengketa lahan permukiman kumuh tanpa hak milik tanah, karena memang lahan tersebut dimiliki pihak swasta atau pemerintah. Lagi-lagi, ini sulit. Apalagi jika berurusan dengan swasta, akan menjadi rumit dan akhirnya berujung pada penggusuran.

In Situ Development, or Relocation?
Pada awalnya, saya sangat kurang setuju dengan adanya penggusuran dan ide relokasi ke rumah susun. Karena menurut saya, rumah susun tidak akan pernah bisa menggantikan ruang sosial yang dibentuk oleh sebuah kampung. Karena kampung memiliki makna yang lebih dari sebuah ruang sosial, ruang budaya, ruang ekonomi, ruang hidup, kenangan, sejarah, dan cita-cita.
Dulu saya beranggapan bahwa makna tersebut tidak akan bisa tergantikan. Karena kampung menjadi identitas dari sebuah kota tempat budaya lahir dan tumbuh berkembang. Tempat masyarakat khususnya yang berpenghasilan rendah dapat memiliki ruang sosial dengan permaknaan yang paling maksimal. Dan ketika masih memungkinkan untuk dipertahankan sebagai sebuah kampung, berbagai pihak harus bahu membahu untuk memperjuangkan dan memperbaiki kualitasnya, mulai dari pihak pemerintah, akademisi, NGO, praktisi, dan sudah tentu partisipasi masyarakat sendiri.
Namun sekarang muncul pertanyaan lain, bagaimana ketika itu sudah bukan lagi sebuah kampung yang berpredikat slum, tapi squatter? Bagaimana apabila kampung tersebut berupa squatter atau permukiman liar dan ilegal yang berdiri bukan di tanah mereka sendiri namun tanah pemerintah ataupun tanah swasta? Dan bagaimana ketika tanah tersebut milik pemerintah yang rencananya akan difungsikan untuk hal-hal vital seperti fasilitas perkotaan nantinya? Atau bagi pihak swasta, tanah tersebut berharga sangat mahal dan akan dikembangkan menjadi kawasan real estate dengan keuntungan berjuta dolar? Tentunya masyarakat penghuni tersebut tak akan berdaya, pihak pihak pemilik tanah pasti akan memperjuangkan hak miliknya. Dan rumah penduduk tersebut hanya akan tinggal puing puing yang diratakan, sama ratanya dengan kenangan dan sejarah didalamya.
Ketika menghadapi suatu kondisi tersebut, jawaban satu-satunya adalah into the vertical, alias relokasi ke rumah susun.






 Menggali Ruang Sosial Hunian di tengah Keterbatasan
Ketika satu satunya jawaban adalah relokasi ke rumah susun, yang menjadi pertanyaan adalah bagaimana lingkungan rumah susun tersebut dapat menjadi sebuah jelmaan representasi kampung yang sarat makna. Bagaimana sebuah tipologi rumah susun dapat menjadi pengganti fungsi hunian di kampung yang mewadahi ruang sosial penghuninya? Juga sebagai ruang ekonomi, budaya dan bahkan ruang bersama untuk menggalang secercah asa perubahan. Lalu pertanyaannya, bagaimana?
Sebelum membahas permasalahan tersebut, marilah kita mengenal hakikat ruang dalam permukiman terlebih dahulu. Dalam definisinya, space atau ruang, termasuk outdoor space, adalah salah satu hasil dari arsitektur dan urban design. Space atau ruang ini dipengaruhi oleh geografi, lingkungan terbangun, sosial, budaya yang dapat mengarahkan (affordance) perilaku manusia ke dalam suatu pola tertentu [1]. Selain itu, space juga dipengaruhi oleh persepsi, pengalaman, perilaku spasial, dan makna yang dirasakan oleh user atau pengguna. Persepsi sesorang terhadap space juga dipengaruhi oleh faktor budaya. Budaya terbentuk secara kontekstual dan memiliki ke khas an masing-masing di berbagai konteks wilayah dan setting.
Ketika berbicara tentang konteks, permukiman di Indonesia memiliki dualisme tipologi, dimana terdapat horizontal housing dan vertical housing. Apabila dikerucutkan lagi untuk konteks masyarakat berpenghasilan rendah, horizontal housing mayoritas berupa kampung dan vertical housing berupa rumah susun.




Sepertinya merupakan hal lumrah apabila kita berbicara tentang  social space pada tatanan hunian kampung, dimana dalam tipologi ini social space yang dihadirkan dapat meraih kondisi optimalnya. Social space yang dapat dihadirkan di kampung juga beragam, mulai dari ruang sosial antar penghuni, ruang ekonomi, ruang budaya, ruang bermain anak, dan fungsi-fungsi lainnya. Shared outdoor space dalam konteks Kampung urban di Indonesia merupakan gang atau jalan kecil yang berada di Kampung. Juga area-area lain di sekitar permukiman yang digunakan bersama untuk kegiatan komunitas warga dan membangun sense of neighborhood [2]. Selain itu, open space diluar rumah memiliki peran yang signifikan terhadap kehidupan di kampung. Gang kampung tersebut digunakan untuk berbagai kegiatan, antara lain memasak, mencuci, bermain, mandi, dan community gathering. Dimana mengurangi luas shared outdoor space di kampung berarti mematikan kehidupan dan budaya di kampung [3].

Eksistensi Ruang Sosial dalam Rumah Susun, apakah hanya fiksi?
Ruang sosial di kampung terbukti bukan menjadi sebuah cerita fiksi belaka. Ia memang ada, nyata, dan dapat dirasa. Lalu bagaimana dengan ruang sosial di rumah susun? Karena bagaimanapun, perkembangan peradaban khususnya di perkotaan akan membawa kita pada satu budaya baru kedepannya, yakni budaya hunian vertikal, rusun salah satunya. Mau tidak mau. Namun yang menjadi fenomena adalah, masyarakat Indonesia belum terbiasa dengan budaya dan pola tipologi rumah susun. Koridor  rumah susun yang tergolong sempit dan susunan permukiman vertikal kurang dapat mewadahi kebutuhan akan ruang sosial dan budaya masyarakat. Seperti contohnya pada rusunawa Penjaringan dan rusunawa Randu di Kota Surabaya berikut. Dimana rusun tersebut memiliki koridor yang relatif sempit, yakni sekitar 1,5 – 2 meter. Lalu dengan kondisi koridor seperti ini, apakah ketercapaian pengadaan ruang sosial tersebut dapat terpenuhi? Rasanya sulit untuk menghadirkan ruang sosial yang sarat makna tersebut dengan keterbatasan ruang ini. Lalu, [fiksi]kah eksistensi ruang sosial pada rumah susun?


 
Belajar pada Rusunawa Sombo, Surabaya
Tidak perlu terburu-buru untuk mendefinisikan sesuatu. Seperti tentang pertanyaan apakah ruang sosial pada rumah susun hanyalah sekedar fiksi belaka. Karena semua pertanyaan pasti dirancang untuk menemui sebuah jawaban. Dan agar jawabannya bukanlah sebuah fiksi belaka, kini muncullah satu pertanyaan penting tentang bagaimana peran arsitek yang harus sebisa mungkin mendesain koridor rusunawa sehingga dapat mengakomodir ruang sosial penggunanya seperti di kampung.
Dalam hal ini kita bisa belajar pada rusunawa Sombo di Kota Surabaya. Rusunawa Sombo yang dibangun sejak tahun 1989 ini didesain dengan koridor lebar dengan tujuan mewadahi behaviour setting penggunanya sama seperti karakteristik gang di Kampung. Koridor yang sangat lebar 3m-9m memberikan kesan sangat longgar, dipakai sebagai ruang bersama dengan bentuknya yang dinamis. Mayarakat rusun Sombo ini merupakan masyarakat permukiman kumuh Sombo yang direlokasi ke rusun. Permukiman kumuh tersebut mempunyai tingkat kepadatan yang sangat tinggi dan sangat kumuh [4].
Dalam sejarahnya, rumah susun Sombo merupakan hasil urban renewal dan relokasi dari warga yang tinggal di kampung kumuh dengan lokasi yang sama sebelumnya. Pattern budaya masyarakat kampung mengakibatkan pola perilaku yang diharapkan terjadi di rusunawa dapat mewadahi aktifitas sosial seperti di kampung, namun tentunya terdapat perbedaan yang terpengaruh oleh setting lingkungan, dimana rusunawa yang bersifat vertical space dan kampung yang bersifat horizontal space. Untuk mengatasi hal tersebut, dilakukan pendekatan partisipatif yang hendak mempertahankan gaya hidup yang sudah biasa dianut masyarakat yaitu guyub dan bersama, diusahakan juga agar pola komunitas terjaga dengan baik. Penduduk juga diberi peluang tidak saja meyetujui pola perencanaan yang ditawarkan, tetapi ada pula kesempatan untuk menyelesaikan kekhasan di masing-masing blok, seperti perumahan di kampung. Hal ini membuat masyarakat lebih menyatu dengan rumah dalam standar yang lebih tinggi [5]



Dengan adanya pendekatan ini, dapat diidentifikasi aktifitas masyarakat yang terjadi di rusun Sombo hampir sama dengan aktifitas penduduk di kampung. Dengan desain koridor yang cukup lebar dan luas tersebut, banyak dinamika aktifitas ruang sosial yang dapat terwadahi. Dalam hal ini, koridor menjadi sebuah tempat penghubung kegiatan bersama penghuni rumah susun. Seperti contohnya kegiatan primer yang selalu dilakukan penghuni setiap hari yakni makan, mandi, mencuci, menjemur pakaian, dan memasak. Juga kebutuhan aktifitas sekunder seperti bersosialisasi, bermain, berdagang, dan lain sebagainya.

Koridor pada rusunawa Sombo juga dapat dimanfaatkan sebagai ruang bermain anak yang nyaman. Karena bagaimanapun, anak akan menghabiskan waktu terbanyaknya berada di rumah. Mulai dari belajar, bermain, sampai pembentukan karakter dasar pribadi masing-masing anak. Dan apabila sebuah hunian seperti rusun tidak ramah terhadap ruang bermain anak, tentu dapat dibayangkan betapa buruk dampaknya terhadap perkembangan anak. Karena seperti statement Lynch yakni “a good world for children is a good world for all” (Lynch,1984).
Selain itu yang menjadi menarik, banyak personalisasi yang dilakukan penghuni terhadapkoridor untuk memenuhi aktifitas sehari-harinya. Sehingga bukan hanya ruang sosial yang terbentuk, melainkan fungsi lain seperti ruang ekonomi juga dapat dilakukan di koridor rusunawa Sombo. Mulai dari aktifitas ekonomi individu penghuni, aktifitas jasa seperti menjahit, sampai koridor rusunawa dapat menjadi tempat berdagang pedagang kaki lima. Meski tak seharusnya seperti itu, namun aktifitas ekonomi tersebut terbukti mendapat respon positif dari penghuni. Dimana para penghuni dapat memiliki bisnis keluarganya sekaligus menjadi konsumen untuk produk-produk yang dijajakan tanpa harus keluar dari blok rusunawa.

 Dalam studi kasus ini, terlihat bahwa koridor rumah susun juga dapat menjadi sebuah penjelmaan dari gang kampung dengan turut serta membawa permaknaannya sebagai ruang sosial yang paling optimal bagi penghuni. Sehingga menjadi bukti, bahwa apabila rumah susun didesain dengan strategi desain yang baik serta melibatkan partisipasi masyarakatnya, ruang sosial yang dihadirkan bukan hanya sebuah fiksi dan klise belaka. Ruang sosial tersebut dapat menjelma menjadi suatu makna yang  nyata. Meskipun pada implementasinya, mendesain rumah susun secara partisipatif tentunya tidak mudah, butuh waktu dan proses yang panjang. Bahkan mungkin biaya yang juga tidak murah. Namun apabila masyarakat bisa mendapatkan apa yang mereka inginkan, bukankah proses yang panjang tersebut patut untuk diperjuangkan?

Namun bagaimanapun, tulisan ini hanya merupakan opini dan argumentasi dari seorang mahasiswa arsitektur yang masih amatir dan perlu banyak belajar. Berakar dari sebuah kondisi nyata yang ada, sedikit mencoba untuk menelisik realita.

:)

Tuesday, April 4, 2017

karena yang bisa kulakukan sekarang hanyalah terus berjalan. dan kalau boleh salah satu yang kuharapkan adalah bertemu dengan "kamu" di perjalanan. entah seberapa melelahkannya perjalanan. tapi bukankah ketika aku dan kamu terus berjalan dengan berlelah, pada akhirnya kita akan saling dipertemukan? bukan akhir, kamu bukan akhir. kamu adalah akhiran untuk sebuah awalan. awalan untuk sebuah tujuan yang panjang. tujuan yang akan diisi dua orang yang berlelah bersama :)
#maaplagimenye :' 
 

instagram

connect on linkedin

follow us on facebook

follow us on instagram

follow us on instagram