oleh : Annisa Nur Ramadhani
opini mahasiswa arsitektur amatiran
Dunia semakin berkembang. Dalam dimensi waktu, perubahan tak terelakkan.
Perkembangan dalam lini manapun menjadi lumrah, baik dari segi jumlah maupun
kualitas. Penduduk berkembang, padat merayap di perkotaan. Sudah tentu hal ini
akan mengakibatkan pertambahan kebutuhan, sebut saja yang primer. Sandang,
pangan, dan papan.
Membahas tentang papan, kebutuhan akan hunian di perkotaan yang semakin
hari semakin bertambah, menjadikannya padat sesak, hingga terkadang yang
terpinggirkan mendapatkan yang tidak layak. Padahal, dalam forum Habitat III di
Quito September lalu, bukankah terdapat penjanjian akan pentingnya "adequate
shelter for all"? Apakah ini hanya akan menjadi pasal pasal
normatif yang tercetak namun miskin implementasi? Memang, bukan hal mudah untuk
mewujudkannya, bahkan mungkin sangat sulit mengingat dinamika masalah yang
terjadi pada negara berkembang seperti Indonesia. Problematika tersebut
menjalar menjadi sebuah masalah multidimensional, bahkan bercabang ke segala
penjuru. Menyentuh aspek aspek vital seperti ekonomi, sosial, politik, budaya,
dan lainnya.
Scarcity of land. Apakah benar terjadi?
Lahan. Hal terpenting untuk membangun sebuah rumah. Tanpanya, rumah tidak akan
bisa berpijak. Namun yang menjadi permasalahan adalah lahan di daerah perkotaan
semakin menipis. Atau bukan menipis, melainkan disalahfungsikan untuk hal-hal
komersil, yang menurut hitungan ekonomis lebih berprofit. Entahlah.
Apakah scarcity of land itu benar benar ada, atau hanya faktor
kebijakan yang tidak bisa membagi peruntukan lahan dari kotanya secara
seimbang.
Dan ketika berbicara lahan tempat tinggal untuk masyarakat berpenghasilan rendah, hampir sudah dipastikan mereka kurang berdaya. Banyak mungkin terjadi
kasus sengketa lahan permukiman kumuh tanpa hak milik tanah, karena memang lahan
tersebut dimiliki pihak swasta atau pemerintah. Lagi-lagi, ini sulit. Apalagi jika
berurusan dengan swasta, akan menjadi rumit dan akhirnya berujung pada penggusuran.
In Situ Development, or Relocation?
Pada awalnya, saya sangat kurang setuju dengan adanya penggusuran dan ide
relokasi ke rumah susun. Karena menurut saya, rumah susun tidak akan pernah
bisa menggantikan ruang sosial yang dibentuk oleh sebuah kampung. Karena kampung memiliki makna yang lebih dari sebuah ruang
sosial, ruang budaya, ruang ekonomi, ruang hidup, kenangan, sejarah, dan
cita-cita.
Dulu saya beranggapan bahwa makna tersebut tidak akan bisa tergantikan. Karena
kampung menjadi identitas dari sebuah
kota tempat budaya lahir dan tumbuh
berkembang. Tempat masyarakat khususnya
yang berpenghasilan rendah dapat memiliki ruang sosial dengan permaknaan yang
paling maksimal. Dan ketika masih memungkinkan untuk dipertahankan
sebagai sebuah kampung, berbagai pihak harus bahu membahu untuk memperjuangkan dan memperbaiki kualitasnya, mulai
dari pihak pemerintah, akademisi, NGO, praktisi, dan sudah tentu partisipasi
masyarakat sendiri.
Namun sekarang muncul pertanyaan lain, bagaimana ketika itu sudah bukan
lagi sebuah kampung yang berpredikat slum, tapi squatter?
Bagaimana apabila kampung tersebut berupa
squatter atau permukiman liar dan ilegal yang berdiri bukan di tanah mereka
sendiri namun tanah pemerintah ataupun tanah swasta? Dan bagaimana ketika tanah
tersebut milik pemerintah yang rencananya akan difungsikan untuk hal-hal vital
seperti fasilitas perkotaan nantinya? Atau bagi pihak swasta, tanah tersebut
berharga sangat mahal dan akan dikembangkan menjadi kawasan real estate dengan
keuntungan berjuta dolar? Tentunya masyarakat penghuni tersebut tak akan
berdaya, pihak pihak pemilik tanah pasti akan memperjuangkan hak miliknya. Dan
rumah penduduk tersebut hanya akan tinggal puing puing yang diratakan, sama
ratanya dengan kenangan dan sejarah didalamya.
Ketika menghadapi suatu kondisi tersebut, jawaban satu-satunya adalah into the vertical, alias relokasi ke
rumah susun.
Ketika satu satunya jawaban adalah relokasi ke rumah susun, yang menjadi pertanyaan
adalah bagaimana lingkungan rumah susun tersebut dapat menjadi sebuah jelmaan
representasi kampung yang sarat makna. Bagaimana sebuah tipologi rumah susun
dapat menjadi pengganti fungsi hunian di kampung yang mewadahi ruang sosial
penghuninya? Juga sebagai ruang ekonomi, budaya dan bahkan ruang bersama untuk
menggalang secercah asa perubahan. Lalu pertanyaannya, bagaimana?
Sebelum membahas permasalahan tersebut, marilah kita
mengenal hakikat ruang dalam permukiman terlebih dahulu. Dalam definisinya, space
atau ruang, termasuk outdoor space, adalah salah satu hasil dari arsitektur dan
urban design. Space atau ruang ini dipengaruhi oleh geografi, lingkungan
terbangun, sosial, budaya yang dapat mengarahkan (affordance) perilaku manusia
ke dalam suatu pola tertentu [1]. Selain itu, space juga dipengaruhi oleh
persepsi, pengalaman, perilaku spasial, dan makna yang dirasakan oleh user atau
pengguna. Persepsi sesorang terhadap space juga dipengaruhi oleh faktor budaya.
Budaya terbentuk secara kontekstual dan memiliki ke khas an masing-masing di
berbagai konteks wilayah dan setting.
Ketika berbicara tentang konteks,
permukiman di Indonesia memiliki dualisme tipologi, dimana terdapat horizontal
housing dan vertical housing. Apabila dikerucutkan lagi untuk konteks
masyarakat berpenghasilan rendah, horizontal housing mayoritas berupa kampung
dan vertical housing berupa rumah susun.
Sepertinya merupakan hal lumrah apabila kita berbicara tentang social space pada tatanan hunian kampung,
dimana dalam tipologi ini social space yang dihadirkan dapat meraih kondisi
optimalnya. Social space yang dapat dihadirkan di kampung juga beragam, mulai
dari ruang sosial antar penghuni, ruang ekonomi, ruang budaya, ruang bermain
anak, dan fungsi-fungsi lainnya. Shared outdoor space dalam konteks Kampung
urban di Indonesia merupakan gang atau jalan kecil yang berada di Kampung. Juga
area-area lain di sekitar permukiman yang digunakan bersama untuk kegiatan
komunitas warga dan membangun sense of neighborhood [2]. Selain itu, open space
diluar rumah memiliki peran yang signifikan terhadap kehidupan di kampung. Gang
kampung tersebut digunakan untuk berbagai kegiatan, antara lain memasak,
mencuci, bermain, mandi, dan community gathering. Dimana mengurangi luas shared
outdoor space di kampung berarti mematikan kehidupan dan budaya di kampung [3].
Eksistensi Ruang Sosial dalam Rumah Susun, apakah hanya fiksi?
Ruang sosial di kampung terbukti bukan menjadi sebuah cerita
fiksi belaka. Ia memang ada, nyata, dan dapat dirasa. Lalu bagaimana dengan
ruang sosial di rumah susun? Karena bagaimanapun, perkembangan peradaban khususnya
di perkotaan akan membawa kita pada satu budaya baru kedepannya, yakni budaya
hunian vertikal, rusun salah satunya. Mau tidak mau. Namun yang menjadi
fenomena adalah, masyarakat Indonesia belum terbiasa dengan budaya dan pola
tipologi rumah susun. Koridor rumah
susun yang tergolong sempit dan susunan permukiman vertikal kurang dapat
mewadahi kebutuhan akan ruang sosial dan budaya masyarakat. Seperti contohnya
pada rusunawa Penjaringan dan rusunawa Randu di Kota Surabaya berikut. Dimana
rusun tersebut memiliki koridor yang relatif sempit, yakni sekitar 1,5 – 2
meter. Lalu dengan kondisi koridor seperti ini, apakah ketercapaian pengadaan
ruang sosial tersebut dapat terpenuhi? Rasanya sulit untuk menghadirkan ruang
sosial yang sarat makna tersebut dengan keterbatasan ruang ini. Lalu, [fiksi]kah
eksistensi ruang sosial pada rumah susun?
Belajar pada Rusunawa
Sombo, Surabaya
Tidak perlu terburu-buru untuk mendefinisikan sesuatu.
Seperti tentang pertanyaan apakah ruang sosial pada rumah susun hanyalah
sekedar fiksi belaka. Karena semua pertanyaan pasti dirancang untuk menemui
sebuah jawaban. Dan agar jawabannya bukanlah sebuah fiksi belaka, kini muncullah
satu pertanyaan penting tentang bagaimana peran arsitek yang harus sebisa
mungkin mendesain koridor rusunawa sehingga dapat mengakomodir ruang sosial
penggunanya seperti di kampung.
Dalam hal ini kita bisa belajar pada rusunawa Sombo di
Kota Surabaya. Rusunawa Sombo yang dibangun sejak tahun 1989 ini didesain
dengan koridor lebar dengan tujuan mewadahi behaviour setting penggunanya sama
seperti karakteristik gang di Kampung. Koridor yang sangat lebar 3m-9m
memberikan kesan sangat longgar, dipakai sebagai ruang bersama dengan bentuknya
yang dinamis. Mayarakat rusun Sombo ini merupakan masyarakat permukiman kumuh
Sombo yang direlokasi ke rusun. Permukiman kumuh tersebut mempunyai tingkat
kepadatan yang sangat tinggi dan sangat kumuh [4].
Dalam sejarahnya, rumah
susun Sombo merupakan hasil urban renewal dan relokasi dari warga yang tinggal
di kampung kumuh dengan lokasi yang sama sebelumnya. Pattern budaya masyarakat
kampung mengakibatkan pola perilaku yang diharapkan terjadi di rusunawa dapat
mewadahi aktifitas sosial seperti di kampung, namun tentunya terdapat perbedaan
yang terpengaruh oleh setting lingkungan, dimana rusunawa yang bersifat
vertical space dan kampung yang bersifat horizontal space. Untuk mengatasi hal
tersebut, dilakukan pendekatan partisipatif yang hendak mempertahankan gaya
hidup yang sudah biasa dianut masyarakat yaitu guyub dan bersama, diusahakan
juga agar pola komunitas terjaga dengan baik. Penduduk juga diberi peluang tidak
saja meyetujui pola perencanaan yang ditawarkan, tetapi ada pula kesempatan
untuk menyelesaikan kekhasan di masing-masing blok, seperti perumahan di
kampung. Hal ini membuat masyarakat lebih menyatu dengan rumah dalam standar
yang lebih tinggi [5]
Dengan adanya pendekatan ini, dapat diidentifikasi aktifitas masyarakat yang terjadi di rusun Sombo hampir sama dengan aktifitas penduduk di kampung. Dengan desain koridor yang cukup lebar dan luas tersebut, banyak dinamika aktifitas ruang sosial yang dapat terwadahi. Dalam hal ini, koridor menjadi sebuah tempat penghubung kegiatan bersama penghuni rumah susun. Seperti contohnya kegiatan primer yang selalu dilakukan penghuni setiap hari yakni makan, mandi, mencuci, menjemur pakaian, dan memasak. Juga kebutuhan aktifitas sekunder seperti bersosialisasi, bermain, berdagang, dan lain sebagainya.
Koridor pada rusunawa Sombo juga dapat dimanfaatkan
sebagai ruang bermain anak yang nyaman. Karena bagaimanapun, anak akan
menghabiskan waktu terbanyaknya berada di rumah. Mulai dari belajar, bermain,
sampai pembentukan karakter dasar pribadi masing-masing anak. Dan apabila
sebuah hunian seperti rusun tidak ramah terhadap ruang bermain anak, tentu
dapat dibayangkan betapa buruk dampaknya terhadap perkembangan anak. Karena
seperti statement Lynch yakni “a
good world for children is a good world for all” (Lynch,1984).
Selain itu yang menjadi menarik, banyak personalisasi
yang dilakukan penghuni terhadapkoridor untuk memenuhi aktifitas
sehari-harinya. Sehingga bukan hanya ruang sosial yang terbentuk, melainkan
fungsi lain seperti ruang ekonomi juga dapat dilakukan di koridor rusunawa
Sombo. Mulai dari aktifitas ekonomi individu penghuni, aktifitas jasa seperti
menjahit, sampai koridor rusunawa dapat menjadi tempat berdagang pedagang kaki
lima. Meski tak seharusnya seperti itu, namun aktifitas ekonomi tersebut
terbukti mendapat respon positif dari penghuni. Dimana para penghuni dapat
memiliki bisnis keluarganya sekaligus menjadi konsumen untuk produk-produk yang
dijajakan tanpa harus keluar dari blok rusunawa.
Namun bagaimanapun, tulisan ini hanya merupakan opini dan
argumentasi dari seorang mahasiswa arsitektur yang masih amatir dan perlu banyak
belajar. Berakar dari sebuah kondisi nyata yang ada, sedikit mencoba untuk
menelisik realita.